Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERKAWINAN POLITIS BERBUAH MALAPETAKA

 

Gentong Air dan Tikar Batu

azahri.com ~ Kabupaten Lamongan Jawa Timur memiliki cerita pilu yang dituturkan secara oral (tutur tinular), turun -temurun dari generasi ke generasi. Penulis mencoba mengangkat cerita rakyat tersebut dalam cerita pendek.

Sekitar tahun 1645  hidup seorang Adipati Kadipaten  Lamongan bernama  Inu Kertapati  yang gagah perkasa dan berwibawa serta  disegani di wilayah Pesisir Utara (Pantura).  Sang Adipati memiliki istri yang cantik jelita bernama Galuh Candra Kirana. Mereka dikarunia putra kembar, bernama  Panji Laras dan Panji Liris.

Di kala itu kerajaan Majapahit  mulai redup. Perang saudara mengakibatkan Majapahit menjadi sebuah kerajaan yang lemah  dan tidak punya wibawa lagi di negeri-negeri bawahannya. Melihat Majapahit yang semakin keropos ini, Adipati Kediri saat itu merasa bahwa inilah saatnya bagi Kediri sebagai kerajaan yang lebih tua dan keturunan sah dari Prabu Airlangga untuk mengambil alih kekuasaan dari Majapahit.

Akan tetapi, meskipun keadaan Majapahit saat itu sudah semakin lemah namun Majapahit masih terlalu kuat untuk dihadapi oleh Kediri seorang diri. Apalagi Kediri masih ragu apakah orang-orang di Pesisir Utara Jawa seperti Gresik, Lamongan, Tuban dan Surabaya yang telah banyak menganut Islam itu nantinya akan mendukung siapa, sedangkan merekalah saat itu yang mengatur urat nadi perdagangan di Nusantara, sehingga peran mereka nantinya tidak bisa disepelehkan.

Oleh karena itu, maka Adipati Kediri berpikir keras bagaimana caranya untuk bisa menjalin koalisi dengan wilayah-wilayah yang ada di Pesisir Utara Jawa. Dalam benak Sang Adipati jika koalisi bisa terbentuk maka tak mustahil impiannya untuk melebarkan sayap kekuasaan Kedri dapat terwujud.

 Sampai suatu ketika dia mendengar kabar bahwa Adipati Lamongan saat itu, mempunyai dua orang putra kembar yang bernama Panji Laras dan Panji Liris. Kebetulan diapun mempunyai dua orang putri kembar yang bernama Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi, maka dia berniat menikahkan kedua putri kembarnya dengan kedua putra kembar Adipati Lamongan sekaligus sebagai langkah awal untuk melakukan koalisi. Manakala  bisa melakukan koalisi dengan Lamongan, maka Majapahit bisa dikepung dari dua arah yaitu Kediri di selatan dan Lamongan di utara.

Adipati Kediri mengambil langkah cepat dengan membentuk tim negosiator. Setelah tim diberi arahan dan bekal yang dipandang cukup, tim bergegas berangkat ke Lamongan mengambil jalur Nganjuk, Jombang.

Tim negosiator dari Kadipaten Kediri di terima dengan baik oleh Adipati Lamongan. di Balairung/Pendhopa Agung. Ketua tim menyampaikan maksud dan tujuan kedatagannya ke Lamongan yang juga membawa  hadiah dari Adipati Kediri..

Mengetahui niat dari Adipati Kediri tersebut, Adipati Lamongan merasa bimbang antara mau menerima ataukah menolak rencana koalisi berbalut pernikahan tersebut. Bila dia menerimanya, dia takut dengan pembalasan Majapahit jika rencana kudetanya dengan Kediri terhadap Majapahit itu gagal.

Namun bila dia menolak dan kemudian Kediri berhasil menggulingkan Majapahit, maka Kediri pastinya juga akan membalas atas penolakannya tersebut. Disamping itu bila sampai terjadi perang saudara lagi, maka ekonomi dan perdagangan yang saat itu dikuasai oleh orang-orang Pesisir Utara Jawa nantinya pasti akan terganggu.

Adipati Lamongan belum dapat memeberikan jawaban dan minta utusan Kediri pulang. Dengan pesan,  kelak Lamongan akan meberikan  jawaban pada saat yang tepat.

Setelah mempertimbangkan dari banyak aspek dan mendengar para pembantunya serta   berkontemplasi/doa, akhirnya Adipati Lamongan  memutuskan untuk menguji kesungguhan dari Adipati Kediri.

Dalam rencana perkawinan  politis ini  Adipati Lamongan mengajukan tiga syarat yaitu. pertama, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi harus mau memeluk Islam, kedua, pihak keluarga mempelai wanita lah yang harus datang melamar kepada pihak keluarga mempelai pria dan ketiga, nantinya pihak mempelai perempuan harus datang dengan membawa hadiah berupa gentong air dan alas tikar yang kedua-duanya harus terbuat dari batu.

Mendengar syarat-syarat tersebut, ternyata Adipati Kediri  bersedia untuk memenuhinya dan menyuruh kedua putrinya untuk datang melamar ke Lamongan, sehingga mau tak mau Adipati Lamongan akhirnya bersiap-siap menerima lamaran sang putri kembar untuk menuju pelaminan.

Tiba pada harinya, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi diiringi dengan rombongan besar orang-orang Kediri datang ke Lamongan. Panji Laras dan Panji Liris di temani Ki Patih Mbah Sabilan diperintahkan oleh ayahnya untuk menjemput kedua putri Kediri tersebut di batas Kota Lamongan.

Pada saat itu Lamongan sedang mengalami bencana banjir, sehingga mau tak mau Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi mengangkat kainnya sampai ke paha agar kainnya tersebut tidak basah. Celakanya, karena hal itu, Panji Laras dan Panji Liris bisa melihat bahwa ternyata kaki Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi ternyata berbulu lebat seperti bulu kuda.

Singkat cerita,  Panji Laras dan Panji Liris kemudian menolak untuk menikahi Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi serta meminta agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan saja.

Mendengar hal tersebut sontak Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi merasa terhina dan malu sehingga mereka melakukan bunuh diri saat itu juga dihadapan Panji Laras dan Panji Liris. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sehingga sampai bunuh diri, orang-orang Kediri itu akhirnya menjadi sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris, sehingga perang pun tak bisa terhindarkan lagi.

Melihat nyawa Panji Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Ki Patih Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, sehingga akhirnya Ki Patih Mbah Sabilan harus tewas dalam rangka melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris.

 Setelah patihnya tewas, Panji Laras dan Panji Liris mengambil alih komando dan memerintahkan prajurit Lamongan yang dibantu masyarakat Lamongan untuk mundur. Namun prajurit Kediri yang marah terus mengejar mereka  sampai ke pendopo Lamongan yang merupakan pusat pemerintahan Kadipaten Lamongan.

Tidak puas hanya menewaskan Ki Patih Mbah Sabilan dan beberapa punggawa kadipaten, orang-orang Kediri itu pun semakin merangsek maju bahkan sampai masuk ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten tersebut, Panji Liris dan ayahandanya, Adipati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Adpati Lamongan sempat berpesan agar Panji Laras lari bersembunyi di daerah Pesisir Utara.

Dalam pelariannya yang diikuti oleh beberapa prajurit setianya Panji Laras sampai di sebuah telaga yang banyak ditumbuhi pohon ploso. Belakangan daerah tersebut menjadi terkenal dengan nama kampung Tlogoploso, Desa Payaman, Kecamatan Solokuro.

Jejak cerita putri kembar Kediri ketika melamar membawa gentong air dan alas tikar terbuat dari batu masih terawat baik di depan Masjid Agung Lamongan. Demikian pulan makam Patih Mbah Sabilan dapat dijumpai  di Kelurahan Tumenggungan, Kecamatan Lamogan, juga   adat atau tradisi calon mempelai perempuan yang melamar calon suaminya juga masih bertahan sampai hari ini di Lamongan, khususnya di pedesaan.

 


Posting Komentar untuk "PERKAWINAN POLITIS BERBUAH MALAPETAKA"