KRITERIA MABIMS MEMPERLEBAR PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADAN, SYAWAL DAN ZULHIJAH
Fase Bulan
Selama ini, kriteria hilal awal Hijriyah
adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. MABIMS
bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat
dan elongasi 6,4 derajat. Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat
bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di
Indonesia mulai 2022.
Kriteria MABIMS baru ini merupakan hasil Muzakarah
Rukyah dan Takwim Islam MABIMS pada tahun 2016 di Malaysia yang diperkuat oleh
Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta yang menghasilkan Rekomendasi
Jakarta tahun 2017.
Manakala terjadi perbedaan penetapan
awal bulan Kamariah, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijah maka akan muncul
pertanyaan, mengapa orang Islam/kelompok
Islam satu dengan lainya, bahkan negara Islam satu dengan lainya sering berbeda
dalam menetapkan awal Ramadan, Idul Fitri dan
Idul Adha ? Mengapa tidak ada
keseragaman seperti umat Nasrani dalam menetapkan hari Natal ? Seumpama kalender
Masehi menentukan tanggal 25 Desember 2022 jatuh hari Ahad/Minggu, maka
dimanapun di seluruh dunia 25 Desember 2022
itu adalah hari Ahad/Minggu.
Meskipun pertanyaan tersebut di atas
adalah pertanyaan klasik, namun tetap aktual dan menarik untuk diperbincangkan,
seaka-akan merupakan sumber diskusi yang tidak pernah habis untuk dikaji dalam
berbagai aspek dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan aktifitas serupa,
misalnya penentuan arah kiblat, pembuatan jadwal waktu shalat dsb. yang tidak
memerlukan mudzakarah yang berkepanjangan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
penulis mencoba memberikan jawaban dengan beberapa argumen dengan pendekatan
teknis dan non teknis, setidaknya sebagai berikut:
1. Sistem
Kalender
Sistem
kalender Islam atau kalender Hijriyah adalah lunar sistem (qomariyah/sistem
bulan), yaitu dihitung berdasarkan perjalanan bulan mengitarai bumi menurut
arah dari barat ke timur. Panjang waktu perjalanan bulan dalam satu bulan dari
satu ijtima/conjunction ke ijtima
berikutnya = 29, 530569 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 02,89 detik.
Kalender
Hijriyah yang dipakai untuk kepentingan ibadah
( Ramadan, Idhul Fitri, Adha, Haji dll.) didasarkan pada perhitungan
bulan hakiki (pada kenyataanya), tidak dibuat secara pasti dan konsisten dengan
perhitungan rata-rata, misalnya: 29, 30, 29 dst.. Hal ini berbeda dengan kalender solar sistem(syamsiyah/sistem
matahari) yang umur tiap-tiap bulanya telah ditetapkan secara pasti dan
konsisten antara 30 dan 31 hari, kecuali bulan Februari 28/29 hari.
Dalam
sistem kalender internasional, kita
telah mengenal istilah garis tanggal
internasional (international date line/IDL), yaitu garis yang membagi bola
bumi menjadi dua bagian tanggal dan hari,
dihitung dari bujur 0 derajat sampai 180 derajat bujur Barat/Timur dan
melintasi daerah jarang penduduk di Samudra Pasifik.
Sistem
perhitungan bulan hakiki dikenal istilah garis
tanggal hijriyah (hijriyah date line/HDL), ialah garis yang menghubungkan
tempat-tempat dimana tenggelam matahari dan bulan terjadi bersamaan. Garis ini
akan terjadi tiap-tiap bulan,
berpindah-pindah tempat dan bentuknya berubah-ubah.
Semua
tempat di sebelah timur garis itu sampai ke garis
tanggal internasional (international date line/IDL) hilal masih berada di
bawah ufuk ketika matahari tenggelam, dengan kata lain tenggelam bulan lebih
dulu dari matahari, sehingga senja itu dan keesokan harinya masih tanggal 30
bulan berjalan.
Sedang
semua tempat di sebelah barat HDL sampai IDL hilal telah berada di atas ufuk
ketika matahari tenggelam atau tenggelam
matahari lebih dulu daripada tenggelam bulan sehingga senja itu dan
keesokan harinya merupakan taggal baru bulan kamariah. Dan semakin ke arah barat
posisi hilal akan semakin tinggi.
Dengan
adanya HDL dan IDL ini maka secara ilmiah tanggal satu Kamariah tidak dapat jatuh
pada hari yang sama untuk seluruh
dunia.
Meskipun
demikan sebenarnya bisa saja dibuat kalender
Hijriyah yang pasti dan konsiten dengan
perhitungan rata-rata atau dengan hisab astronomi pada suatu tempat tertentu
(misal Makkah) dan dipakai untuk seluruh dunia (hisab global).
Sistem
kalender seperti ini pernah direkomendasilan dalam suatu pertemuan OKI dan juga telah banyak dipakai, namun
kegunaanya hanya sebatas untuk keperluan administrasi, bukan keperluan ibadah.
Karena untuk kepentingan ibadah, pendapat yang muktabar dan muktamad (lebih kuat) adalah bahwa waktu-waktunya
harus disesuaikan dengan fakta astronomis yang aktual (rukyatul hilal).
2. Faktor
Penyebab Perbedaan
Masyarakat pada umumnya beranggapan
bahwa perbedaan hasil penentuan awal bulan Kamariah itu karena penggunaan
metode hisab di satu sisi dan rukyat di
sisi yang lain (antara aliran hisab dan aliran rukyat). Pendapat demikian untuk
saat ini dari sisi formalitas masih
relevan, namun dari aspek subtansial telah kehilangan relevansinya.
Hisab dan rukyat sesungguhnya adalah ibarat
dua sisi mata uang dalam ilmu astronomi [ilmu falak] two side of one coin , keduanya tidak bisa di pisahkan. rukyat
diperlukan untuk mendapatkan rumus yang makin akurat untuk hisab dan dengan
hisab bisa melakukan prediksi ke depan, sebagaimana di buktikan dengan
perhitungan gerhana bulan dan matahari yang terbukti akurat dan disaksikan
banyak orang .
Banyak faktor
yang menghadirkan perbedaan hasil penentuan awal bulan kamariah, yang secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yakni teknis dan non teknis. Faktor teknis
menyangkut metode rukyat dan metode hisab, non teknis terkait kajian fikih,
aspek sosial politik dll.
a. Faktor Teknis
Perbedaan penetapan awal bulan Kamariah [Ramadan, Syawal dan Zulhijah] bisa terjadi antara hisab dengan hisab dan rukyat dengan rukyat. Namun perbedaan subtansi yang mempengaruhi hasil justru antara hisab dengan hisab. Perbedaannya ada pada dua hal, yakni sistem/dasar perhitungan dan paradikma/kriteria yang digunakan.
Terkait dengan dasar/sistem penetapan ada yang menggunakan hisab urfi , hisab hakiki dan hisab kontemporer. Sementara dari perbedaan paradigma/kriteria ada tiga macam:
Pertama, hisab ijtima matahari dan bulan, yaitu bila ijtima terjadi sebelum matahari terbenam, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan awal bulan baru. Akan tetapi jika ijtima terjadi setelah matahari tenggelam maka senja itu dan keesokan harinya sebagai hari terkhir dari bulan berjalan.
Kedua, hisab wujudul hilal (Madzhab Muhammadiyah), yaitu wujudnya hilal setelah matahari tenggelam, apabila setelah matahari tenggelam hilal sudah berada di atas ufuk berapapun besarnya, maka senja itu dan esoknya sudah tanggal baru.
Ketiga, paradigma imkanur rukyah, yaitu ketika matahari terbenam ketinggian hilal sudah memungkinkan untuk di rukyah. Dalam hal ini tidak ada kata sepakat para ahli hisab, berapa ketinggian hilal mungkin di rukyat. NU menentukan minimal 2 derajat, Kemenag tidak ajeg, berubah-ubah, sementara ahli astronomi internasional menentukan minimal 5 derajat.
Dengan perbedaan dasar penetapan/sistem dan paradigma/kriteria tersebut di atas akan memberikan peluang terjadi perbedaan penetapan awal bulan Kamariah, terutama dalam posisi hilal di bawah 2 derajat.
Pada aliran rukyah, ada juga problem teknisnya, misalnya tentang syarat-syarat rukyat. Ada yang mengharuskan dengan mata telanjang, tidak boleh pakai alat, syarat intelektual, syarat kejujuran dsb.
Khusus kasus Indonesia, perbedaan akan terasa kurang nyaman di masyarakat jika dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah berbeda menentukan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
Dua ormas besar ini sistem hisabnya secara resmi sudah sama, yakni sama-sama menggunakan hisab kontemporer. Hanya kriterianya yang berbeda, NU menggunakan imkanur rukyat 2 derajat, sementara Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal. Dengan demikian untuk awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah tahun 1443 H/2022 M kemungkinan sama.
Namun kemungkinan sama antara NU dan Muhammadiyah berdasarkan kalender/hisab masing-masing menjadi semakin kecil bila Kementerian Agama (Kemenag) pada tahun 2022 mulai menggunakan kriteria baru mengacu hasil kesepakatan MABIMS. Bila Kemenag menerapkan kriteria MABIMS, maka besar kemungkinan NU sebagai ormas yang mendukung pemerintah (Kemenag) akan mensuportnya, maka di masa mendatang akan banyak berbeda dengan Muhammadiyah yang nampaknya tetap konsisten dengan wujudul hilal.
b. Faktor Fikih
Yang klasik diperdebatkan adalah
antara rukyah bil fi’li (dengan mata
telanjang) dan hisab yang juga diklaim sebagai rukyah bil ilmi . Di Indonesia hisab mutlak diwakili oleh
Muhammadiyah dan Persis. Kedua ormas ini tidak merasa perlu lagi melakukan
rukyah, karena hisab dianggap sudah cukup akurat, praktis dan lebih pasti.
Sementara rukyah diwakili oleh NU,
walaupun sebenarnya NU juga memakai hisab, walau tetap harus disahkan rukyat.
Setidaknya NU berani menolak hasil rukyat yang dimustahilkan hisab, yaitu bila
semua ahli hisab sepakat menyatakan bahwa hilal tidak dapat dirukyat, baik
posisi hilal dibawah ufuk ataupun di bawah batas minimal hilal dapat dirukyat
karena kurang dari 2 derajat.
Perdebatan yang kedua adalah masalah
daerah berlaku rukyah (rukyah lokal VS global). Penganut rukyah lokal berpegang pada madzhab Syafi’i yang mengenal
konsep matla (sejauh radius 120 km) Dalam praktek batas matla ini tidak jelas,
sehingga kemudian muncul “wilayatul
hukmi” (wilayah hukum satu negara).
c. Faktor Sosial Politis
Dari sini kelihatan bahwa faktor fikih
dan teknis yang beraneka ragam itu harus
disatukan, dan itu tidak bisa selain dengan otoritas yang legitimite,
baik secara riil politis maupun secara syar’i, yang akan mengadopsi (tabbani)
salah satu pendapat yang argumentasinya paling kuat, entah dari segi fikqh
maupun teknis rukyat/hisab.
Di Malaysia, Brunai, dan Arab Saudi
misalnya, tidak pernah terjadi perbedaan hari raya karena ada otoritas yang legitimite,
yaitu peran negara dan pemerintah yang kuat dan berwibawa, sehingga semua rakyatnya sami’na wa atha’na
pada pemerintahnya. Hal berbeda terjadi di Indonesia, bila penetapan pemerintah
berbeda dengan ormas Islam, penetapan ormas Islam lebih ditaati umat Islam
daripada pemerintah.
Sempat muncul wacana agar penetapan pemerintah
punya daya paksa perlu ada regulasi tentang penetapan awal bulan Kamariyah,
khususnya Ramadan, Idul Fitri dan Adha. Namun yang perlu diingat bahwa
kelemahan mendasar di negara kita adalah dalam sisi law enforcement (penegakan
hukum), sementara dalam making law (pembuatan undang-undang) cendrung
mengalami over produksi. Belum lagi jika ditinjau dari faktor historis dan
sosiologis bahwa negara kita berbeda dengan negara Malaysia, Brunai dan
semacamnya, dimana ormas keagamaan lahirnya lebih dahulu dari NKRI.
Sebenarnya yang diharapkan umat
adalah tindakan yang bijaksana dari pemimpin negara dan umat, karena memang
yang dihadapi tidak lagi hukum atau teknis, tetapi masalah yang berkaitan
dengan kemaslahatan umat, yakni semangat persatuan dan kesatuan umat Islam, menjauhkan dari fanatisme
kelompok/golongan.
Dalam menghadapi keragaman saat ini, dimana belum ada
otoritas yang legitimete bagi kaum muslimin, maka mau tak mau umat akan
berpegang pada siapa yang mereka percaya, entah itu seorang ustadz, amir
gerakan, pemerintah ataupun kabar dari luar negeri, misalnya Saudi.
Untuk hal-hal ibadah mahdhoh, sebenarnya tidak diperlukan
kepastian yang tinggi, melainkan cukup dugaan yang kuat (dhaniyut dalalah).
Seperti halnya orang tidak tahu arah kiblat yang pasti, maka ia boleh shalat ke
arah mana saja yang dia perkirakan paling benar. Andaipun kemudian ternyata
keliru dia tidak perlu mengulang shalatnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa ibadah puasa dan haji
mempunyai demensi sosial yang luas karena berkaitan dengan kepentingan
banyak orang/publik, maka peran penguasa sangat diperlukan, sesuai kaidah ushul
“ Hukmul qodhi yarfaul khilaf”
(keputusan penguasa menghentikan perbedaan).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bisa duduk bersama
dengan pimpinan ormas untuk menawarkan jalan tengah. Apa yang pernah ditawarkan
Bapak Moh. Yusuf Kalla (mantan Wapres) bahwa untuk menyelesaiakan perbedaan ini
Muhammadiyah dari wujudul hilal (dalam rangka ihtiyat) diubah menjadi
ketinggian hilal 1 derajat dan NU dari
paradigma imkanur rukyat 2 derajat turun menjadi 1 derajat, maka akan ketemu.
Kompromi yang diusulkan mantan Wapres dalam hal ini bukan
suatu yang lucu atau dilarang karena masalah penetapan awal bulan kamariah adalah
masalah ijtihadiyah. Tapi dengan kriteria MABIMS ini ali-alih mendekat, kok
malah semakin menjauh.
Posting Komentar untuk "KRITERIA MABIMS MEMPERLEBAR PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADAN, SYAWAL DAN ZULHIJAH"