Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surat Kepada PP Muhammadiyah Soal Perbedaan Hari Raya

                                                                        Polewali, 26 September 2015

Perihal : Teori Pembelokan atau Kereta Api Keluar Stasiun

 Kepada Yth.

Bapak Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah

di

       Tempat

 

Assalamu’alaikum wr…wb…..

Alhamdulillah pelaksanaan shalat Idul Adha tahun 1436 H/2015 M bagi warga Muhammadiyah di seluruh wilayah RI berjalan dengan lancar, tertib dan khidmat, meskipun berbeda dengan penetapan Pemerintah Republik Indonesia dan Mamlakah Saudi Arabiyah.

Selama kurun waktu 15 tahun terakhir, dari tahun 1991 – 2015 baru kali ini penetapan 10 Dzulhijjah 1436 H oleh Muhammadiyah  berbeda dengan pemerintah RI sekaligus dengan pemerintah Saudi sehingga resistansi (daya tolak) internal – eksternal, kegusaran dan ketidaknyamanan anggota dan simpatisan Muhammadiyah lebih terasa.

Tahun 2006 dan 2007 Idul Adha Muhammadiyah sama dengan pemerintah RI dan beda dengan Saudi, hampir tidak ada persoalan. Tahun 2014 yang lalu Muhammadiyah  beda dengan pemerintah RI tapi bareng dengan Saudi, gonjang-ganjing dari kalangan internal relatif kecil.

Kali ini, lebih banyak  pimpinan, tokoh dan warga Muhammadiyah yang shalat Id tidak sesuai maklumat PP Muhammadiyah, termasuk di almamater saya, Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah Paciran, pondok Muhammadiyah terbesar di Jawa Timur. Mereka beralasan untuk Idul Adha harus mengikuti otoritas Saudi, kalaupun berbeda tidak mendahului Saudi yang letaknya lebih ke Barat. Alasan fikiyah ini sudah banyak diperbincangkan di kalangan umat dengan argumentasi masing-masing, termasuk penjelasan dari PP Muh. PWM dll. yang menegaskan bahwa hari Arofah maupun Nahar tidak harus mengikuti Saudi.

Pendapat yang meniscayakan Idul Adha harus mengikuti otoritas Saudi adalah pendapat minoritas di kalangan Umat Islam Indonesia, terbukti NU, Kementerian Agama RI, Muhammadiyah, kelompok Salafi dll. sudah terbiasa menjalankan ritual Idul Adha beda dengan Saudi.

Hisab hakiki wujudul hilal wilayatul hukmi, begitu istilah panjangnya, yang dipedomani PP Muh. sudah dipahami oleh para pimpinan dan kader Muh. termasuk kriteria umum lahirnya Bulan baru (anak Bulan, bhs Malaysia). Untuk menetapkan tanggal 1 Bulan baru Qomariah (bhs baku = Kamariah) harus terpenuhi tiga kriteria secara kumulatif, yaitu: 1) sudah terjadi ijtimak (konjungsi) antara Bulan dan Matahari, 2) ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari, dan 3) ketika Matahari terbenam Bulan belum terbenam, atau Bulan masih berada di atas ufuk berapapun tingginya.

Kriteria ketiga pernah menuai kritik ahli astronomi, hilal di atas ufuk itu hilal penuh/utuh, separo atau seperempat? Bila hilal yang di atas ufuk itu hanya separo berarti hilal yang belum sempurna, bahasa Malaysianya anak Bulan yang lahir prematur. Maka  salah satu ahli hisab Muhammadiyah, Dr. Agus Purwanto pernah mengusulkan agar kriteria ketiga diperjelas bahwa yang dimaksud  hilal belum tenggelam ketika Matahari terbenam adalah  piringan bawah Bulan belum terbenam ketika Matahari tenggelam. Ini masalah astronomi dalam tingkat detail sehingga tidak berdampak secara luas.

Persoalan prinsip dan berdampak luas yang pijakan fikihnya lemah adalah pada penjelasan MTT PP Muhammadiyah yang berbunyi “Karena kriteria wujudul-hilal menganut teori matlak wilayatul-hukmi, yakni pada satu hari yang sama hanya ada satu tanggal di seluruh wilayah Indonesia, maka kawasan B (hilal belum wujud) mengikuti tanggal yang ada di kawasan A (hilal sudah wujud)”. 

Contoh kasus pada Idul Adha 1436 MTT PP Muh. dalam diktum maklumatnya menggariskan, “ Seperti terlihat dalam peta dunia di atas, Indonesia terlewati oleh garis batas tanggal, sebagian wilayah masuk dalam kawasan A (kawasan yang memasuki 1 Zulhijah 1436 H tanggal 14 September 2015) dan sebagian wilayah lain masuk dalam kawasan B (kawasan yang memasuki 1 Zulhijah 1436 H tanggal 15 September 2015). karena kriteria wujudul-hilal menganut teori matlak wilayatul hukmi, yakni pada satu hari yang sama hanya ada satu tanggal di seluruh wilayah Indonesia, maka kawasan B mengikuti tanggal yang ada di kawasan A.. Dengan demikian, tanggal 1 Zulhijah 1436 H bertepatan dengan hari Senin 14 September 2015. Hari Arafah tanggal 9 Zulhijah 1436 H bertepatan Selasa 22 September 2015. Idul Adha tanggal 10 Zulhijah 1436 H bertepatan dengan hari Rabu 23 September 2015.

Persoalan besarnya adalah, apa dasar hukumnya kawasan B yang minus (Bulan belum wujud) harus mengikuti kawasan A yang plus (Bulan sudah wujud). Atau penduduk Polewali, Mamuju, Kendari, Palu, Ambon dsb harus mengikuti, orang Jogja, Surabaya, Jakarta, Medan dsb. Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada MTT PP Muh. jawabannya diibaratkan dengan kereta api masuk stasiun. Jika lokomotif kereta api sudah masuk stasiun maka semua gerbongnya dianggap telah masuk stasiun.  Jika Jogja hilal sudah wujud, maka Sorong dianggap sudah wujud meskipun sesungguhnya belum wujud.

Analogi seperti ini tidak memiliki atsar syar’i dan menyelisihi tradisi ulama ahli hisab yang muktabar dan mu’tamad. Di kalangan ulama ahli hisab ada angka yang disebut ihtiyad (kehati-hatian). Semua ahli hisab, termasuk Muhammadiyah, bila membuat jadwal waktu shalat/imsakiyah angka ihtiyadnya ± 2 menit, bahkan untuk waktu dhuhur ada yang + 4 menit. Ihtiyad ini bentuk kehati-hatian para ulama jangan sampai ada orang shalat  atau buka puasa belum masuk waktunya, kalau beberapa menit lewat waktunya tidak masalah. Bagaimana  kalau sudah jelas belum masuk waktunya harus mengikuti tempat lain yang sudah masuk waktunya?

Salah satu guru hisab Muhammadiyah KH. Sa’adoedin Djambek dalam menentukan tanggal baru Bulan Kamariah mempunyai teori pembelokan garis batas Bulan/tanggal. Beliau menjelaskan jika garis batas tanggal membelah wilayah Indonesia menjadi dua bagian, maka garis itu dibelokkan dengan ketentuan garis batas tanggal dibelokkan untuk memperluas daerah yang minus dalam rangka ihtiyad, sehingga seluruh wilayah Indonesia diasumsikan hilal belum wujud dan hari yang bersangkutan  masih bagian Bulan lama atau Bulan berjalan. Sejalan dengan teori pembelokan ada pendapat salah seorang Wakil Ketua PDM Situbondo, “ Dalam rangka ihtiyad sebaiknya menggunakan filosofi kereta meninggalkan stasiun. Kereta dianggap meninggalan stasiun manakala semua gerbongnya sudah lepas stasiun untuk menuju stasiun berikutnya. Bulan baru dianggap telah datang bila Bulan lama telah pergi dengan sempurna”, demikian kata beliau.

Teori pembelokan garis Bulan maupun kereta meninggalkan stasiun patut dipertimbangkan oleh MTT PP Muh. Oke, Indonesia sudah memasuki Bulan baru jika seluruh wilayah Indonesia hilal sudah wujud atau jika masih ragu setidak tidaknya dipatok 75 % dari wilayah Indonesia hilal sudah wujud dengan pengertian piringan bawah Bulan belum tenggelam ketika Matahari tenggelam.

Insya Allah jika MTT PP Muh. menggunakan teori pembelokan garis tanggal  dan filosofi kereta meninggalkan stasiun akan memperoleh beberapa maslahah:

1.      Tidak mengubah kriteria lahirnya Bulan baru dalam hisab hakiki wujudul hilal yang telah dipedomani Muh. sudah sejak lama. Namun perlu diketahui bahwa dalam perjalanan waktu hisab ini juga mengalami penyempurnaan sesuai perkembangan iptek, antara lain dalam metode perhitungannya. Zaman Kiyai Wardan Diponingrat, sebagaimana disebutkannya dalam bukunya Hisab Urfi dan Hakiki, digunakan daftar yang diambilnya sebagian dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala ar-Rashd al-Jadid dan dari Zij Aala’uddin Ibn Syathir, kemudian pada zaman Sa’doeddin Djambek digunakan nautical almanac, lalu terakhir digunakan Ephemeris Hisab Rukyat.

2.      Warga dan simpatisan Muhammadiyah yang ada di wilayah Indonesia bagian Timur dalam menjalani ibadah lebih mantap karena memasuki Bulan baru hilal benar-benar sudah wujud dengan sempurna, tidak sekedar “terpaksa” mengikuti saudaranya  di Jogja.

3.      Untuk Idul Adha kemungkin bersama dengan Saudi tetap berpeluang besar karena kriteria hisab wujudul hilal Muhammadiyah nyaris sama dengan kalender Ummul Quro yang digunanan Kerajaan Saudi Arabia.

4.      Kemungkinan berbeda dengan pemerintah RI akan semakin berkurang sehingga tingkat kenyamanan warga Muh dalam menjalankan ritual puasa dan idain semakin meningkat. Kebersamaan, kekompakan dan ukhuwah umat Islam di Indonesia semakin kuat.

Saya berkeinginan mengirim surat ini sebelum Idul Adha, namun karena suasana batin yang saya rasakan sebagai anggota Muhammadiyah yang dibesarkan dan dididik Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi pimpinan mulai dari IPM, IMM dan PDM selama 4 priode, include Ketua PDM 2 priode, maka saya memilih momentum yang saya anggap tepat, yakni dikala suasana sudah kembali normal, perdebatan soal hari Arafah dan Idul Adha telah mereda dengan harapan mendapat tanggapan dari Bapak Ketua yang memadai. Mohon izin juga bahwa surat ini saya tembuskan kepada beberapa pimpinan dan warga Muh. melalui medsos untuk mendapatkan umpan balik guna menggapai maslahah yang lebih besar.

Demikian surat saya, atas kesalahan saya mohon dimaafkan. Trimakasih. Jazakumullaah khoiran jaza’. Walla ‘alam bishawab.

 

,                                                                                               Wassalam, 

 

Ahmad Zahri

NBM: 593442

 

Posting Komentar untuk "Surat Kepada PP Muhammadiyah Soal Perbedaan Hari Raya"