Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HALAL - HARAM POLITIK UANG

 


azahri.com ~ Bicara halal dan haram terkait dengan masalah fikih. Dalam kajian fikih ada ungkapan yang terkenal dengan ahkamul khomsah (hukum lima), yakni: wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Halal masuk katagori mubah, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan dan dilawankan dengan haram, yaitu sesuatu yang tidak boleh dilakukan.

Dalam melihat sesuatu yang terkait dengan tingkah laku manusia atau perbuatan mukalaf selalu menggunakan pendekatan hukum (fikih), bukan pendekatan moral, kemanusian dll. Hal demikian terjadi karena yang awal kita pelajari di sekolah adalah masalah hukumnya.

Tulisan ini menyajikan dengan singkat perihal politik uang dilihat dari aspek hukum (fikih) dan hukum positif,  khususnya dalam sebuah kontestasi yang memang telah diketahui lazim bermain politik uang.

Putusan organisasi besar, NU melalui bahtsul masail dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, demikian pula para kiai dan ustaz secara pribadi, menyamakan politik uang dengan risywah. Karena politik uang dikiaskan dengan risywah sehingga hukumnya menjadi haram. Larangan risywah disebutkan dengan jelas dalam sebuah hadist yaitu,

عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ :لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Saw. melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.

Suap/sogok atau risywah yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Melaknat maksudnya dari sisi hukum adalah haram. Sementara istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk mempengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan.

 Dengan adanya politik uang ini, maka putusan yang dihasilkan tidak lagi
berdasarkan idealita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut, melainkan semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang, karena yang bersangkutan sudah merasa diuntungkan.

Dalam hukum positif Indonesia, politik uang sangat jelas dilarang, bahkan pelakunya dapat dibatalkan pencalonannya dan berujung kepada tindak pidana. 

UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengenai politik uang ini diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 84 dikatakan bahwa: “Selama masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih parpol peserta pemilu tertentu; dan/atau d. memilih calon anggota DPD tertentu”.

UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden:

1) Pasal 41 ayat (1) poin h dan j: “Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dan menjanji kan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

2) Pasal 215: “Setiap pelaksana Kampanye yang dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara  langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00(dua puluh empat juta rupiah).

Jadi telah jelas, politik uang dari sisi fikih masuk perbuatan haram dan dari aspek hukum positif dilarang dan masuk tindak pidana, namun persoalannya politik uang itu disukai dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat/kontituen dan calon dalam praktek pelaksanaan pemilu.

Pendapat berbeda dilontarkan oleh kiai kondang, yang akrab dipanggil Gus Baha,  dalam salah satu ceramahnya di youtube, beliau mengemukakan  bahwa tidak serta-merta politik uang itu sama dengan risywah, tergantung konteknya.

Beliau mengutip kitab Fathul Muin bahwa yang dimaksud suap atau risywah itu mengubah yang batil menjadi hak dengan cara menyogok pihak yang punya otoritas. Namun untuk mempertahankan haknya dengan menyogok hakim dalam suatu perkara karena pihak lawan yang tidak punya hak menyogok, sementara hakimnya dlolim, maka perbuatan demikian itu bukan suap.

Secara lebih spesifik beliau mencontohkan bahwa jika  ada dua kandindat bupati, yang satu orang dholim dan yang satu orang sholeh. Orang dholim membeli suara dan jika membeli suara pasti jadi, maka orang shaleh wajib membeli suara di atas orang dholim tersebut agar bisa sukses.

Sogokan orang shaleh ini  disebut membeli kebenaran, bukan suap karena orang sholeh lebih berhak jadi bupati daripada orang dholim. Alasan lebih lanjut bilamana  orang shaleh tidak membeli kebenaran, maka yang jadi bupati adalah  orang dholim  yang akan membawa kerusakan.

Pada tataran implementasi yang berpendapat bahwa politik uang itu bukan suap/risywah harus hati-hati. Karena hukum asal politik uang itu  disamakan dengan risywah dan hukumnya  haram. Dalam kaidah ushul fikih hukum haram menjadi halal apabila dalam keadaan dhorurat dan hukum makruh jadi boleh jika ada hajat.

Ulama ushul merumuskan  kaedah الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات, artinya “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.” . Berdasarkan firman Allah Swt:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

Ulama ushul telah membuat rumusan keadaan dhorurat antara lain:

1.  Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan, maka tidak boleh melakukan  yang haram.

2. Tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan  larangan demi hilangnya dhoror.

3.  Haram yang dilakukan  lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.

4. Fakta empiris  akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau asumsi.

 Politik uang yang berubah menjadi nomenklatur membeli kebenaran, apakah sudah memenuhi empat syarat yang digariskan ulama ushul tersebut.

a.    Apakah yang mengkalim sebagai orang sholeh itu benar-benar sholeh atau hanya pencitraan. Mengklaim  dirinya orang shaleh dan lainnya tidak shaleh, tentu klaim demikian tidak bisa objektif, tergantung sudut pandang masing-masing  pihak. Memotret seseorang  secara utuh tentu amat sulit karena masing-masing  orang punya  kelebihan dan kekurangan. Dan yang tak kalah penting, apakah ada jaminan orang yang mengkalim shaleh kalau jadi pejabat tetap sholeh.

b.   Apakah tidak ada jalan lain untuk sukses kecuali dengan pollitik uang, misalnya membangun kedekatan, keteladan, menjual ide dan gagasan dll.

c. Apakah politik uang yang dilakukan itu lebih ringan bahayanya daripada tidak dilakukan. Politik uang itu dilarang karena merusak sistem sosial dan politik. Tidak semata-mata dilihat dari kepentinga pemberi suap dan penerima suap dalam jangka pendek, tapi juga kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika politik uang dibolehkan, maka akan terjadilah  transaksional, politik dagang sapi. Siapa yg membeli dengan  harga paling tinggi dia yg menang, gilirannya pemilih tak lihat lagi shaleh atau fasik yg penting fulus. Sistem rusak. Kecurangan dibalas kecurangan.

d.   Kalau politik uang tidak dilkukan, apa benar akan ada madhorot yang lebih besar, atau itu hanya asumsi saja.

Bila orang di depan hakim untuk memulihkan hak harus bayar, kemudian siapa yang bayar dimenangkan hakim, maka terjadilah juak beli hukum. Si kaya menang si miskin kalah. Hukum akan  rusak.

Suap tidak bisa dilihat hanya sekedar jual beli kedua belah pihak, tapi memiliki dimensi yg luas. Dimensi budaya, pendidikan dan moral kolektif, Untuk mencapai masyarakat adil makmur tak mungkin jual beli hukum dan hak pilih dihalalkan hanya untuk meraih kemenangan. Kemenangan dalam konsep Islam harus ditempuh dengan akhlak karimah agar berkah.

Beda dengan makruh, yaitu perkara yang ditinggalkan itu lebih baik dan jika ada hajat menjadi boleh. Hajat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan. Ada kaedah yang sangat membantu ketika memahami makruh sebagai berikut; الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ “Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Dalil dari kaedah tentang makruh di atas di antaranya adalah dalil berikut. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah Saw membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568). Namun Rasulullah Saw. pernah begadang bersama Abu Bakar membicarakan urusan kaum muslimin. Hal ini dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi, no. 169. Ini menandakan suatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat.

            Kita  tahu bahwa politik uang itu dari sisi fikih haram dan dilarang oleh undang-undang, bukan hal makruh yang ketika ada hajat menjadi boleh. Harus hati-hati untuk menerapkan pendapat Gus Baha yang satu ini, jangan ditelan mentah dan menjadi alasan politik uang bukan suap, tapi membeli kebenaran. Karena merasa diri orang sholeh lalu menggampangkan politik uang. Walahu ‘alam bi shawab.

Posting Komentar untuk "HALAL - HARAM POLITIK UANG"