PENGARUH KITAB KUNING DALAM PUTUSAN TARJIH MUHAMMADIYAH
azahri.com
A. Batasan Kitab Kuning
Terlebih dahulu, kiranya perlu dikemukakan definisi
kitab kuning dan hal ihwal yang berkaitan dengannya, semata agar terdapat
persamaan persepsi.
Kitab kuning adalah sebutan kitab-kitab agama yang
ditulis dalam bahasa Arab tanpa syalk (harakat) dan biasanya dipelajari oleh
para santri di Pondok Pesantren. Disebut demikian karena kitab-kitab agama
yang berbahasa Arab tempo dulu dicetak di atas kertas berwama kuning. Sekarang
tidak semua kitab agama yang berbahasa Arab ditulis di atas kertas yang berwarna kuning, terutama
kitab-kitab yang diterbitkan di
Beirut-Libanon, Riyadl-Saudi Arabia, Kairo- Mesir, sudah menggunakan kertas
berwarna putih. Namun karena sebutan
kitab kuning sudah begitu populer sehingga semua kitab agama yang
berbahasa Arab disebut kitab kuning. Sebutan lain dari kitab kuning adalah
kitab gundul; karena tidak
berharakat atau baris , bahkan ada yang tidak memakai tanda baca titik dan
koma.
Kitab kuning yang biasanya dipelajari di Pondok
Pesantren jilidanya tanpa dijahit, tetapi
dibiarkan lepas, agar para santri mudah membawa beberapa kitab dengan jalan
setiap kitab dikuras mana yang dibutuhkan saja. Kemudian beberapa
kurasan itu dihimpun jadi satu dan dibawa menghadap kyai. Cara inilah
yang dikenal dengan metode kurasan. Metode ini melatih santri bertindak cermat dan teliti, karena setelah
beberapa kitab tersebut dipelajari harus dikembalikan atau digabungkan pada tempat semula.
Dahulu kitab kuning hanya dimiliki kalangan
terbatas, para kyai dan santri di Pondok Pesantren. Namun setelah banyak berdiri madrasah/sekolah agama di luar
pesantren, baik yang dikelola swasta maupun Departemen (sekarang
Kementerian) Agama dan berdiri pula Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN) penyebaran kitab kuning meluas dan mudah
didapat.
B. Macam Kitab Kuning
Apabila semua kitab agama yang berbahasa Arab dan
tanpa syakl itu disebut kitab kuning,
maka bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu kitab kuning aliran lama dan
kita kuning aliran modern.
Pertama; kitab kuning
aliran lama atau yang disebut juga kitab kurasan, memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut: ditulis
di atas kertas berwarna kuning, bahasanya sederhana, tidak beranak kalimat atau
bercucu kalimat, kalimatnya pendek-pendek, jika ada kata yang dianggap ghorib
(sulit) langsung di belakang kata tersebut diberi syarh (keterangan).
Kitab kuning model lama ini biasanya
terdiri dari matan (kitab inti) yang sifatnya singkat dan syarh, yang
menjelaskan hal-hal yang perlu dijelaskan . Kadang-kadang syarh itu
diberi penjelasan lagi yang lebih mendetail
dan penjelasan yang lebih mendetail ini disebut hasyiyah.
Ciri lain kitab ini, disamping tanpa syakl (baris)
juga tidak ada tanda baca titik dan koma. Biasanya baru ada tanda baca titik di akhir pembahasan, yang
disimpulkan dengan kata intaha atau alif dan ha, singkatan
dari intaha huna, artinya (selesai)
sampai disini.
Dari segi
penalaranya, kitab kuning aliran lama ini dapat dikatakan
kurang objektif karena kebanyakan penulisnya adalah pengikut suatu madzhab tertentu,
sehingga mereka secara apologis mempertahankan pendapat imam madzhabnya.
Kalau ada yang agak objektif biasanya bukunya kurang laku dan dicap kitabnya menyimpang. Juga kebanyakan tidak
mencamtumkan teks Al Qur'an maupun Al Hadits.
Yang masuk kitab jenis ini antara lain: Fathul
Qorib Al Mujib, syarh kitab At Tagrib, oleh Muhamad bin Qosim Al Quraisi
As Syafii, Fathul Mu'in bi Syarh Ouratil Ain, oleh Syeh Zainudin
bin Abd. Azis, I’anatut Thalibin oleh Al Bakri Ad Dimyathi dll.
Kitab kuning aliran lama inilah yang biasanya
dipelajari di Pondok Pesantren Salaf, yang mayoritas bernaung di bawah
NU. Cara mempelajari kitab ini di Pondok Pesantren adalah secara bersama-sama, semua santri berkumpul di
hadapan kyai, tanpa ada tingkatan dan kelas, untuk mendengar kyai membaca kitab atau santri senior disuruh membaca
oleh kyai dan yang lain mendengarkanya,
kemudian kyai yang menjelaskan maksudnya — yang dalam istilah pesantren disebut memuradi (yang memberi maksud).
Mengaji secara bersama-sama itu disebut mengaji weton.
Selain itu ada mengaji sorogan. yaitu beberapa santri yang satu
level datang kepada kyai dengan membawa
kitab tertentu untuk dikaji di hadapan kyai. Mangaji cara ini lebih bersifat pendalaman
bagi santri yang sudah agak lancar membaca kitab.
Dalam belajar cara weton ataupun sorogan, para
santri tidak mencatat dalam buku tulis, melainkan mencatat di pinggir atau di bawah kata yang diartikan oleh
seniornya atau kyianya. Catatan di
bawah kata sulit disebut serongan, karena tulisanya menyerong untuk
menghemat tempat atau disebut jenggotan, karena jika dilihat
secara keseluruhan mirip jenggot.
Kedua; kitab kuning aliran modem. Ciri-ciri kitab ini:
ditulis di atas kertas berwarna putih/HVS, sudah dijilid jadi satu dan
diberi sampul yang bagus, bahasanya modem dan aktual, kalimat-kalimatnya kompleks dan variatif, sudah menggunakan tanda baca
titik dan koma, dan kata-kata tertentu yang krusial diberi syakl untuk
menghindari salah baca dan memahami.
Dari segi materi pembahasanya, tidak
terikat salah satu madzhab, bahkan mengupas berbagai hal dari sudut pandang beberapa madzhab (muqoranatul
madzahib). Materi pembahasanya lebih objektif konteks tual dan ilmiyah, disertai dalil-dalil naqli dan naqli.
Yang
tergolong kitab jenis kedua, antara lain: Figih Sunah oleh Sayid Sabiq, Figth
Islam wa Adilatuhu oleh Wahbah As Zuhali, Tafiir Al Maraghi oleh
Syeh Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al Manar oleh Moh. Rasyid Ridho dll.
Kitab kuning aliran kedua ini biasanya dipelajari
di Pondok Pesantren yang berfaham Muhammadiyah atau Islam Modernis. Cara
mempelajari kitab ini menggunakan sistem klasikal dengan bimbingan seorang kyai
atau ustadz. Metode pengajaranya tidak hanya bersifat monolog, tapi juga menggunakan dialog. Santri bebas
bertanya, bahkan boleh mendebat kyai atau ustadznya
Lulusan Pondok Pesntren yang bercorak faham pembaruan ini
tidak semua mahir membaca teks-teks
kitab yang berbahasa Arab. Sebagian besar mereka memahami pembahasan isi
kitab, bahkan bisa menyampaikan dalam bahasa lisan dengan jelas dengan uraian
tekstual, kontekstual dan kadang liberal
(lepas dari teks dan konteks).
Hal ini wajar
karena wacana yang dikembangkan di
pesantren adalah pemahaman dan kebebasan berfikir, disamping juga karena santri banyak membaca buku terjamah dan buku-buku agama
yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
C. Pengaruh
Kitab Kuning dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah
Putusan tarjih yang dimaksud disini meliputi:
putusan-putusan muktamar tarjih, munas tarjih dan fatwa Mjlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikirang Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdasarkan amatan
penulis dari putusan-putuan yang telah dipublikasikan, baik melalui media cetak
(buku, majalah dsb) maupun media elektronika (internet).
Ditilik dari aspek historis, terdapat benang merah
antara putusan tarjih dengan kitab
kuning, bahkan tidak hanya putusan tarjih, putusan lembaga fatwa manapun tentu
meniscayakan kehadiran kitab kuning (aqwal para fuqaha). Hal ini menjadi mafhum
manakala kita lihat dari muatan aktifitas dakwah yang dilakukan para pendahuku
kita.
Bila ditelusuri pemahaman dan pengamalan agama yang dianut
dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Islam di
Nusantara ini, pada awalnya bersumber dari kitab kuning, khususnya kitab-kitab fiqih. Ada kecendrungan
penyebaran Islam pada tahap awal yang dilakukan
oleh para wali dan santri-santrinya, kemudian dilanjutkan para kyai dan santrisantrinya dengan lembaga pesantrenya, dakwahnya
menggunakan pendekatan fiqih oriented. Wajar
wajah Islam yang pertama dikenal masyarakat adalah masalah ibadah, khususnya
ibadah mandhoh, baru kemudian
muamalah, tasawuf dsb.
Harus diakui bahwa apa yang kemudian dipraktekan
oleh masyarakat dalam kehidupan keagamaan sehari-hari belum tentu sesuai
dengan kandungan kitab kuning. Telah banyak distorsi dan penyimpangan karena pengaruh adat-istiadat, kepentingan para tokoh agama dsb.
Di kalangan Islam Santri, kitab kuning
merupakan rujukan dalam memecahkan berbagai persoalan, menentukan hukum suatu masalah dsb. Bahkan
di kalangan Islam Tradisional kitab kuning tertentu atau qoul ulama' tertentu
lebih diprioritaskan daripada teks Al Qur'an atau As Sunah.
Dalam hal ini teks kitab kuning,
khususnya yang beraliran lama telah
disejajarkan dengan syari'ah, diterima begitu saja tanpa ada kritik dan upaya
evaluasi.
Tidak demikian halnya yang terjadi di
Muhammadiyah, khususnya di Majlis Tarjih. Majlis ini mewarisi
tradisi ajaran agama pendiri dan generasi awal Muhammadiyah yang
bercorak faham pembaruan (tajdid). Tidak dapat dipungkiri bahwa pendiri
dan generasi awal Muhammadiyah adalah kaum santri. Dengan kata lain, secara
historis Muhammadiyah lahir dari rahim santri ( kampung Kauman), dari tradisi ta’lim
antara KH Ahmad Dahlan dan para santrinya. Tentu sistem ta’lim/pembelajaran
yang dipraktekkan KH Ahmad Dahlan dengan para santrinya berbeda dengan sistem ta’lim
di pesantren lain pada umumnya.
Sistem yang dikembangkan Dahlan
belakangan diidentifikasikan sebagai sistem pendidikan Islam modern, karena
berwawasan ke masa depan, tidak anti kritik dan menerima sesuatu
yang baru meskipun dari luar Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’ah Islam.
Berangkat dari tradisi pesantren yang
berfaham pembaruan, Majlis Tarjih - yang
kebanyakan memang dihuni oleh lulusan pesantren modern - dalam menetapkan suatu hukum, baik di forum
Munas maupun sidang Tim Fatwa, sering merujuk aqwal fuqaha yang diambil
dari kitab kuning aliran baru, setelah terlebih
dahulu dilakukan kritik
dan upaya pengujian terhadap nash-nash Al
Qur'an maupun As Sunah Shohihah.
Metode
tersebut di atas sejalan dengan salah satu dari pokok-pokok Manhaj Majlis
Tarjih Muhammadiyah yang berbunyi “Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab,
tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau
dasar-dasar lain yang dipandang kuat”.
Dalam mengambil aqwal fuqoha Muhammadiyah
tidak terikat kepada salah satu madzhab tertentu, tetapi juga bukan berarti
anti madzhab. Muhammadiyah tidak meragukan kualitas keilmuan para imam madzhab,
namun bagaimana pun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki
kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Quran dan as-Sunnah
ash-Shahihah.
Pendapat-pendapat para imam tersebut
sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan
terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan
masa kita sekarang.
Pengambilan aqwal para fuqoha berfungsi
sebagai dasar hukum (hujjah syar’iyah) dalam perkara-perkara yang tidak
terdapat nash al Qur’an maupun al Hadits
dan dalam perkara-perkara yang terdapat nash, pengambilan hujjah syar’iyah berfungsi
sebagai alat penafsir atau tambahan argumentasi dari nash yang dikutip.
Kitab kuning aliran baru yang sering
dijadikan rujukan oleh Majlis Tarjih antara lain: kitab fiqh (Fiqh Sunnah oleh
Sayid Sabiq, Bidayatul Mujtahid oleh Ibu Rusy, Majmu’ fatawa oleh Ibnu
Taimiyah, Fiqh Islam wa Adilatuhu oleh Wahbah az Zuhaili dsb), kitab hadist
(Kutubus Sittah, Subulus Salam oleh As Shon’ani, Nailul Authar oleh Imam As
Syaukani dsb), kittah Tafsir (Ibnu Katsir, Al Maraghi, Fi Dhilalil Qur’an
dsb.), kitab Ushul (Al Isbah wan Nadhoir, ‘ilamul Muwaqiin, dsb).
Di era digital belakangan ini kitab
rujukan Majlis Tarjih dan Tajdid lebih beragam, khususnya Tim Fatwa melalui Program
al-Maktabah asy-Syamilah (edisi 2), Program al-Jami’ al-Akbar (edisi 2), dan
Program al-Jami’ al-Kabir (edisi 4, 2007-2008).
Walhasil,
pengaruh kitab kuning masih sangat
dominan dalam proses pengambilan keputusan hukum di Majlis Tarjih dan Tajdid,
baik di forum Munas Tarjih maupun Tim fatwa.. Dengan demikian, Majlis Tarjih
tetap membutuhkan kader Muhammadiyah yang mahir membaca dan memahami kitab
kuning..
Saya kira yang ada kata kata "intaha" tidak hanya dalsm kitab yg mereka anggap lama. Tapi dalam kitab modern spt subulus salam juga ada kata lata intaha. Saya kira tidak benar bila dikatakan bahwa beberapa kitab kuning oleh kaum tradisional dianggab kekuatan hukumnya melebihi nas alquran ataupun assunah. Juga tidak benar bila dikatakan bila ada kitab yang mereka anggap obyektif lantas tidak laku dipasaran karena dianggap menyimpang. Lihat saja kitab ihya' alghozali itu bahkan mengkritik pendspat imam syafii. Tapi kitab itu tetap sangat dihormati dikalangan syafiiyah. Saya kira banyaklah kitab yg mereka anggap moderen juga di kaji di kalangan kaum santri tradisional, spt kitabnya murid ibnu taimiyah Qoyim alJauziyah, tafsir ibnu katsir, madzaibul arba'ah (ini malah sangat obyektif). Kitab mizanul Kubro, Nailul Athar dll.
BalasHapusTerimakasih coment-nya. Secara detail/kasuistik apa yang Anda sampaikan benar.
BalasHapusUraian yang saya kemukakan untuk membedakan dua aliran kitab kuning itu hanya sekedar fenomena umum/kebanyakan dan merujuk pengalaman penulis ketika belajar di pesantren salaf.
Perkembangan ke depan pembagian pesantren salaf dan modren semakin menipis.