Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

NIKAH SIRI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

 

                          

azahri.com ~ Ada ungkapan, “ Nikah sirri  itu sah menurut hukum Islam, tetapi tidak sah menurut hukum negara sehingga tidak memperoleh perlindungan hukum dari negara”. Ungkapan tersebut sering kita dengar dari pejabat Kantor Urusan Agama atau para ustadz saat khutbah nikah atau nasehat perkawinan. Apakah ungkapan tersebut  benar?

Terminologi nikah sirri (nikah yang dirahasiakan) telah  dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri, yaitu pernikahan yang memenuhi syarat dan  rukunnya menurut syari'at, namun tidak dipublikasikan atau tidak ada i'lanun-nikah dalam bentuk walimatul-'ursy atau dalam bentuk yang lain. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Islam Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan menurut hukum syariat, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah dan  atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga tidak memperoleh akte nikah sebagai satu-satunya bukti legal formal. Perkawinan yang demikian menurut istilah hukum disebut perkawinan di bawah tangan.

            Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan disusul Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaanya.

 Bila kita cermati,  undang-undang dan aturan pelaksanaanya tersebut di atas memiliki tiga regim hukum, yaitu: regim hukum perdata, hukum pidana dan administrasi negara.

1.      Dimaksud regim hukum perdata adalah aspek aturan hukum keperdataan dalam undang-undang perkawinan, yang meliputi antara lain: syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, perjanjian perkawinan dsb.

2.      Regim hukum pidana adalah aspek aturan hukum yang menyangkut tindak pidana dan ancaman hukumannya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 61 UU No. 01 Tahun 1974 dan pasal 45 PP No. 09 Tahun 1975.

3.  Dan regim hukum administrasi negara, yaitu aspek aturan hukum yang berkaitan dengan pencatatan dan pendaftaran oleh pejabat administrasi/tata usaha negara.

Aspek hukum keperdataan (muamalah) dalam undang-undang perkawinan secara subtansial dikembalikan kepada ajaran agama masing-masing, atau setidak-tidaknya rumusan formalnya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini nampak jelas jika kita baca  pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing  agama dan kepercayaannya itu”, dan atau pasal 6 ayat 6 yang berbunyi: “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.

Berdasarkan logika hukum dari pasal 2 ayat 1 tersebut dapat ditarik kaidah hukum bahwa sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh ajaran agama, bukun oleh undang-undang. Yang memiliki otoritas menentukan sah tidaknya perkawinan adalah Syari’ (pembuat syari’at), bukan manusia atau kelompok manusia, baik  melalui legislasi ataupun yurisprudensi. Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan perundang-undangan. Tidak ada  dikhotomi antara hukum agama dan hukum negara.

Hanya saja perkawinan yang tidak dilaksanakan di hadapan pejabat dan atau tidak dicatat (di bawah tangan) tidak memenuhi aspek hukum administrasi negara sehingga tidak memiliki dokumen resmi dari negara (akte nikah) dan berimplikasi  tidak mempunyai kekuatan hukum. Kaidah hukum ini merujuk antara lain pada pasal 2 ayat 2, yang berbunyi: “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

          Kekuatan hukum artinya kekuatan pembuktian secara legal formal dan kekuatan mengikat kepada pihak-pihak yang berwenang. Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis  terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang  bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh  perlindungan dan pelayanan hukum  oleh  instansi yang berwenang  sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka  tidak diakui dalam daftar kependudukan, tidak dapat memperoleh akte kelahiran bagi anak-anak mereka dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena perkawinan sirri banyak dampak buruknya maka peraturan perundang-undangan menggariskan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat dan didaftarkan dalam register yang disediakan untuk itu. Keharusan dilaksanakan di hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum.

         Lalu, apa dasar syar’inya pembuat undang-undang mengharuskan pencacatan sebuah perkawinan, padahal pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan tersebut?

            Menurut para pakar hukum Islam, sekurang-kurangnya ada dua alasan hukum yang dijadikan pijakan perintah pendaftaran/pencatatan nikah. Pertama, berdasarkan qiyas (analogi) dan kedua atas dasar maslahah mursalah (utility).

            Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akte perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah (utang-piutang) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ... .

      Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh syari’at dan juga tidak dilarang oleh syari’at, semata-mata hadir atas dasar kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ. الأشباه والنظائر - (1 / 220)

Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya. (Al Isybah wa Nadlair, Juz I hal, 220)

Atas dasar kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akte nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akte nikah suami isteri memiliki bukti otentik, legal formal atas perkawinan yang terjadi antara mereka

Lahirnya teori kemaslahatan dalam rangka mengantisipasi perubahan dan tuntutan zaman, agar hukum Islam tetap sejalan dengan maqosidus syar’inya. Perubahan terhadap sesuatu, termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ - مجلة الأحكام العدلية - (1 / 20)

Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.( Majalatul Ahkam Al Adliyah, Juz I, hal 30)

Ibnu al-Qayyim menyatakan :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.) إعلام الموقعين عن رب العالمين  3 / 149)

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 149].

            Pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.                

            Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.

            Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi setiap warga negara, khususnya umat Islam, wajib hukumnya melaksanakan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan Pegawai Pencatat Nikah harus mencatat perkawinan yang dilaksanakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam daftar yang disediakan untuk itu.

Posting Komentar untuk "NIKAH SIRI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF"