LIMA PETUAH YIMAN
Oleh A. Zahri
(Alumni Ponpes Karangasem Paciran 1982)
1. Alim dan Karismatik
Tulisan
ini membahas sudut pandang lain dari seorang ulama Muhammadiyah Jawa Timur,
tidak fokus pada catatan biografi yang
berkaitan dengan asal usul, pendidikan,
kiprah di Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya, akan tetapi menitik
beratkan pada buah pikiran sang tokoh. Hal demikian didasari bahwa tidak banyak
ulama Muhammadiyah lokal yamg meninggalkan jejak karya tulis. Kebanyakan buah pikiran/ajaran mereka
disampaikan secara oral. Boleh jadi karena kesibukan mereka yang padat melayani umat dengan aksi nyata sehingga tidak sempat
menulis atau alasan lain. Kekuatan oral melalui tutur tinular akan hilang bila
tidak didokumentasikan. Sedikit ulama
Muhammadiyah Jatim yang masih dapat dibaca ulang buah pikirannya melalui karya
tulis mereka, semisal KH. Muamal Hamidy, KH. Imran A. Manan, Kia Gaul Imam
Munawir dsb.
Sebelum
mengambil pelajaran dari Yiman, terlebih dahulu penulis memaparkan sosok Yiman
secara singkat. Kiranya berguna bagi pembaca yang belum kenal dengan beliau dan
menambah dekat bagi yang telah mengenalnya. Agar para pembaca yakin bahwa
petuah yang penulis sampaikan itu buah pikiran Yiman, maka digambarkan ala kadarnya kebersamaan penulis dengan
beliau, meskipun dalam rentang waktu terbatas.
KH.
Abdurahman Syamsuri, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Karangasem Paciran,
Lamongan, Jawa Timur, sering disapa Yiman. Lahir pada tanggal 1 Oktober
1925 dan wafat pada tanggal 27 Maret 1997. Beliau seorang yang sangat dalam dan luas ilmu
agamanya (tabahur) dalam berbagai bidang: ilmu lughah, tafsir Alquran,
ilmu hadis, ilmu tauhid, ilmu fikih dsb serta memiliki karisma yang tinggi.
Siapapun
mafhum tentang kedalaman ilmu agama
beliau manakala menengok dari tempat dan sumber belajar serta kepercayaan
masyarakat kepada beliau. Sejak kecil belajar dasar-dasar agama dan membaca
Alquran dari ayahnya, Kiai Syamsuri dan kakeknya, Kiai Idris. Disamping itu
beliau belajar di Madarasah Islam Paciran (MIP). Berikutnya nyantri kepada KH.
Musthafa Abdul Karim, Kranji – yang kemudian terkenal Ponpes Tarbiyatut
Thalabah. Dari Kranji melanjutkan menimba ilmu kepada Kiai Amin Tunggul (Ponpes
Al Amin). Selanjutnya beliau melalang buana keluar Kabupaten Lamongan menuju
Kabupaten Tulungagung, tepatnya di Mangunsari, belajar pada ulama terkenal, K.
Adul Fattah selama empat tahun. Pada tahun 1945 beliau pindah ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang,
berguru kepada pendiri NU Syekh Hasyim As’ari dan terakhir nyantri kepada
K.Ma’ruf di Ponpes Kedunglo, Bandar Kidul, Kediri.
Setelah
pulang kampung dipercaya kakeknya, KH Idris meneruskan pengelolaan Langgar
Dhuwur. Kala itu masyarakat Paciran dan sekitarnya banyak minta fatwa dan
belajar kepada beliau. Setelah Langgar Dhuwur bermetamorfosis jadi
Ponpes Karangasem – dulu belum ada tambahan kata Muhammadiyah dibelakang
Karangasem- semakin banyak anak muda menimba ilmu pada beliau. Undangan pengajian,
khotbah, ceramah dari masyarakat kepada beliau juga semakin padat. Wujud
kepercayaan lembaga keagamaan, politik dan kenegaraan menempatkan beliau pada
posisi penting. Beliau mendapat amanat
di Muhammadiyah mulai ketua ranting, cabang, daerah, unsur pimpinan
wilayah dan anggota Tarjih dan Tanwir Pimpinan Pusat Muhamadiyah. Kiprah beliau di
MUI mulai tingkat kabupaten sampai provinsi. Beberapa kali beliau dipercaya
sebagai Dewan Hakim MTQ tingkat provinsi dan nasional. Di lembaga negara beliau pernah menjadi
anggota DPRD Lamongan dari Partai Masyumi dan menjadi hakim honor di Pengadilan
Agama Lamongan.
Karisma
dan kewibawaan beliau diakui banyak orang, baik dari kalangan Muhammadiyah
sebagai wadah beliau berdakwah maupun dari kalangan NU dan kelompok lain. Di
kalangan santri dan para ustadz Karangasem beliau diyakini punya karomah
atau linuwih. Apa yang beliau katakan mereka sami’na wa atha’na dan
menjalan dengan ikhlas atau meninggalkan total
bila larangan. Umat merasa sejuk ketika mendapat siraman rohani dari
beliau. Sak wasangka dan silang sengketa menjadi sirna. Beliau sosok yang
dijadikan uswah dan qudwah oleh umat dalam menjalankan ibadah dan
kehidupan sosialnya.
2. Santri Ndeso
Penulis mulai belajar di Ponpes Karangasem pada awal Desember 1976
dan masuk sekolah formal (PGA 4 Tahun) pada Tahun Ajaran Baru 1 Januari 1977. Ketika penulis naik kelas II nama sekolah berubah menjadi
Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM). Pertengahan tahun 1980 penulis sudah
tamat MTs, masa studi di MTs hanya ditempuh 2, 5 tahun karena ada perubahan
tahun ajaran dari tahun takwim ke tahun Kalender Pendidikan yang dimulai bulan Juli. Ujian negara dua
kelas digabung menjadi satu, yakni untuk siswa kelas III yang menjalani masa
studi 6 bulan dan siswa kelas III yang diperpanjang masa studinya 1,5 tahun.
Santri Karangasem saat penulis menimba ilmu
hampir semua dari kalangan pedesaan
(santri ndeso), kelas menengah ke bawah. Fasilitas belajar mengajar masih
sederhana. Asrama santri putra masih banyak yang terbuat dari kayu (gotaan),
meskipun sudah ada asrama baru bangunan tembok. Toilet/WC santri putra masih di
atas sungai, kamar mandi masih terbatas. Semua santri masak dan belanja kebutuhan
dapur sendiri, belum ada kantin.
Pohon asam disamping rumah Yiman dan corong
terbuat dari seng untuk adzan juga masih ada, meskipun tidak digunakan lagi. Langgar
Dhuwur masih digunakan kegiatan mengaji kitab Riyadhus Shalihin yang
diasuh oleh Kiai Mansur. Ruang kelas sekolah pagi (MTsM dan MAM) sudah bangunan
tembok, tidak hanya berada di kompleks pondok, tapi sudah tersebar di bebera
tempat sampai ke pinggir laut. Bangunan paling besar adalah Masjid Al Manar
sebagai pusat kegiatan ibadah dan studi, khususnya Tafsir Jalalain yang
langsung di asuh oleh Yiman dan diikuti semua santri putra, bakda Subuh sampai
terbit matahari.
3.
Tafsir Jalalain
Pengajaran تفسير الجلالين Tafsīr
al-Jalālain, karya dua ulama besar, Jalaluddin al-Mahalli pada tahun 1459, dan
kemudian dilanjutkan oleh muridnya Jalaluddin as-Suyuthi pada tahun 1505. merupakan
kegiatan primadona Ponpes Karangasem. Kajian tafsir ini dengan metode sorogan,
santri membaca teks tafsir di hadapan kiai. Sebelum santri setor bacaan kepada
kiai terlebih dahulu harus nderes,
membaca bersama dengan dipimpin santri senior atau santri yang dianggap mampu. NDeres
dilaksanakan bakda Isya’ untuk persiapan setoran Subuh. Tafsir Jalalain jenis
tafsir lughawiyah atau tafsir ringkas. Teks tafsir berada di sela-sela teks
Alquran. Cara membaca dalam nderesan maupun setoran menggunakan pendekatan
lafdziyah, dibaca per kalimat dengan terjamah
bahasa Jawa, setelah rampung satu ayat diterjemahkan ke bahasa Indonesi. Cara
baca terjamah lafdziyah bahasa Jawa dengan mengikut sertakan i’rabnya, misalnya
posisi mubtada’ pakai kata utawi, posisi khabar dengan iku dst.
Santri mendapat giliran membaca/setor
secara proporsional, urut kacang. Jika santri bacanya salah giliran santri
berikutnya dan berikutnya. Terkadang bila salah kiai yang membetulkan atau
dibaca oleh santri yang lain sampai benar, namun bila tak ada yang bisa membaca
dengan benar, pengajian bisa bubar dan
dilanjutkan hari berikutnya. Suatu saat bubar saja, tapi di kesempatan lain
bubar dengan bonus pukulan kiai menggunakan sabuk atau ranting kayu.
Kitab tafsir para santri boleh diberi terjamahan
dengan tulisan miring ke bawah, disebut jenggotan, karena mirip jenggot.
Waktu mengaji santri tidak boleh membawa Alquran Terjamah bahasa Indonesia
seperti Alquran dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama atau terjamah
bahasa Jawa seperti kitab Al Ibriz karangan KH. Bisri Musthafa. Uniknya,
santri tidak boleh membawa kamus Arab
Indonesia semisal Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, tapi boleh
membawa Kamus Arab - Melayu karangan Idris Al Marbawi. Alasannya Kamus Idris
Almarbawi menggunakan tulisan Arab Melayu, tidak pakai teks tulisan latin.
Larangan membawa terjamah dikandung
maksud agar dalam memahami Alquran benar-benar mendalam, tahu arti dan makna
tiap-tiap kalimat (kata), termasuk asal-usul kalimat dari aspek ilmu
sharaf/mizan dan kedudukan tiap-tiap kalimat (kata) atau i’rab dalam kalam (rangkaian
kalimat utuh) dari aspek ilmu nahwu.
Tentu kesan akan berbeda dengan hanya sekedar membaca terjemah secara
global/keseluruhan ayat.
Usai santri membaca Alquran dengan
tartil bersama-sama, disambung membaca
teks dan tafsirnya bergilaran dengan terjamah bahasa Jawa dan Indonesia yang
disimak oleh kiai terkadang sambil tiduran di tempat imam, kemudian sambil
duduk kiai menjelaskan kandungan ayat-ayat yang telah dibaca dari berbagai aspek, mulai sebab turunnya,
hubungan dengan ayat lain dan hadis terkait, hukum-hukum yang terkadung
didalamnya, sampai makna konteknya dengan kondisi faktual kekinian.
Dari sinilah para santri termasuk
penulis mendapat pemahaman agama dalam sudut pandang yang luas sebagai modal dasar para santri suatu saat terjun di
masyarakat menjalankan misi dakwah dan berjuang
di jalan-Nya. Banyak wejangan, fatwa dan petuah yang dapat diambil dari
uraian beliau yang tak terhitung jumlahnya, namun ada lima petuah yang sering
disampaikan yang akan penulis paparkan.
4.
Lima Petuah Yiman
Petuah dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan: 1) keputusan atau pendapat mufti (tentang masalah agama
Islam); 2) fatwa, nasihat/pelajaran orang alim, pelajaran yang baik. Boleh juga diartikan
nasehat penting dan khusus untuk
kalangan tertentu.
Tak terhitung petuah Yiman yang pernah penulis dengar
sendiri selama 6 tahun menjadi santri
ditambah kuliah selama 3,5 tahun, terutama pada sesi pengajian tafsir Jalalain
dan kesempatan lain. Dalam catatan ini penulis
hendak mengangkat lima petuah yang sering diulang oleh beliau dalam beberapa
kesempatan.
Pemaparan petuah dimaksud tentu
berdasarkan perspektif penulis yang boleh jadi berbeda dengan perspektif santri
lain. Kemampuan masing-masing orang
menyerap narasi seorang tokoh dipengaruhi
kemampuan indrawii dan nalar pikir atau kecerdasannya. Diskripsi petuah Yiman
yang tersaji dibawah ini sesuai dengan yang terakam dalam otak dan buku catatan
penulis yang terbatas. Lima petuah dimaksud
adalah:
a.
Kedudukan dan
Peran Santri
Guna
memotivasi para santri, Yiman sering menyampaikan kedudukan santri ketika menuntut
ilmu dan perannya ketika kelak kembali ke masyarakatnya. Beliau sering
membawakan ayat:
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ
طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا
رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (Surat At-Taubah, Ayat 122).
Beliau jarang mengemukakan sebab nuzul ayat ini, yang menjadi fokus beliau adalah keutamaan sekelompok orang yang meluangkan waktu untuk menuntut ilmu agama (santri) dan peran mereka ketika sudah kembali ke masyaraktnya. Saat seseorang thalabul ilmi dengan niat ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin kedudukan dan jabatan keduniaan, maka akan diberikan kebaikan yang banyak dan dimudahkan jalan menuju surga. Beliau berdalil dengan sebuah hadis:
مَنْ يُرِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, maka akan dipahamkan ilmu agama.” ( HR. Al Bukhori dan Muslim). Dikaitkan dengan hadis:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا
إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka akan Allah
mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Petuah beliau, semua santri harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, tidak boleh santai. Siapa yang giat akan dapat (sukses), sesuai ungkapan من جد وجد. Kalau perlu santri mencari guru yang ada di sekitar pondok dan belajar berbagai ilmu dari guru tersebut sesuai dengan keahlian mereka. Jangan puas hanya mengikuti kegiatan belajar yang dijadwal pondok atau sekolah, dengan catatan tidak bertabrakan dengan kegiatan resmi pondok.
Beliau sering mengingatkan kepada para santri bahwa orang tua mereka bekerja keras mencari bekal dengan bertani, nelayan, berdagang, menjadi tukang dsb. guna membiayai anaknya yang sedang mondok, maka para santri akan berdosa jika tidak serius dalam belajar. Kalau tidak sungguh-sungguh pulang dari pondok masih “plonga-plongo”, tidak tahu perbedaan alif tegak dan alif bengkok. Memalukan pondok, orang tua dan diri sendiri.
Sepulang dari pondok para santri mempunyai tugas, yang istilah Yiman sebagai “penakut-penakut” untuk masyarakatnya. Penakut maksudnya memberi peringatan kepada masyarakat akan siksa Allah swt. bagi yang mengabaikan perintahnya dan melanggar larangannya. Boleh jadi sebagai da’i, mubaligh, guru bagi masyarakatnya, membimbing masyarakat ke jalan yang benar, memberi tahu hak dan kewajiban manusia agar mereka dapat menjaga diri dan meraih husnul khotimah.
b. Ingin Alim Harus Tirakat
Tirakat secara simpel dapat diartikan mengekang nafsu. Mengendalikan nafsu
makan, tidur, seksual dan kenikmatan duniawi lainnya dengan tujuan mengasah
mata batin agar ikhlas, syukur, qonaah dan
istiqomah dalam menjalani kehidupan. Puncaknya adalah sepenuhnya melakukan sesuatu untuk
menggapai ridha Allah swt.
Ada berbagai
jenis tirakat yang biasa dilakukan oleh para santri. Ada yang puasa
senin-kamis, puasa daud, shalat hajat, shalat dhuha, dan lain sebagainya.
Biasanya disertai dengan dzikir-dzikir tertentu dalam menjalani tirakat
tersebut. Tirakat ini dilakukan secara rutin dan istiqamah sehingga
santri mampu melawan hawa nafsunya sendiri.
Tirakat menurut Yiman tidak terbatas hanya pada amaliah seperti
di atas, akan tetapi termasuk pula amaliah dunia, seperti makan seadanya, menempuh perjalanan
jauh dengan jalan kaki, pakaian sederhana dsb.
Beliau sering mengisahkan laku tirakatnya ketika nyantri di
beberapa pondok pesantren, khususnya
ketika belajar di Tulungagung, Jombang dan Kediri. Sering mengkonsumsi makanan
pokok berupa singkong rebus diiris tipis lalu dikeringkan (kripik kuno) dan
saat disantap hanya direndam dengan air panas tanpa lauk-pauk. Bahkan terkadang
hanya makan buah pace (mengkudu). Bukan semata-mata tidak ada yang dimakan tapi
sedang menjalani tirakat. Diceritakan,
ketika beliau mondok di Kediri hanya punya satu sarung, ketika sarungnya kotor dicucuci
di sungai dan dijepur dekat sungai sambil beliau berendam di sungai menunggu
kering menghafal pelajaran dari kiai.
Beliau menjelaskan
tradisi
tirakat ini sudah ada sejak zaman sahabat. Para sahabat sering menghabiskan
waktu siangnya dengan berpuasa, dan malamnya untuk bermunajat pada Allah swt.
Mereka sedikit makan dan minum serta mengurangi jam tidurnya. Para ulama juga
mengikuti jejak mereka. Banyak ulama yang menjalankan puasa bertahun-tahun
untuk mentirakati para murid-muridnya agar ilmunya bermanfaat. Banyak ulama
yang rela hidup susah agar dapat mengekang hawa nafsu hingga dapat menuju
kepada Allah swt. dengan mudah.
Tambah beliau, jika dalam menuntut ilmu kebanyakan
makan-minum dan tidur, ilmu susah untuk masuk. Terlebih saat proses menghafal
Alquran, kalau perut kenyang rasa ngantuk selalu menyertai sehingga tidak bisa
kosentrasi dan hafalan jadi kacau. Dalam soal tirakat, beliau sering membawakan curhat Imam Syafii
kepada gurunya:
شَكَوتُ إِلى وَكيعٍ سوءَ
حِفظي - فَأَرشَدَني إِلى
تَركِ المَعاصي
وَأَخبَرَني
بِأَنَّ العِلمَ نورٌ - وَنورُ اللَهِ لا
يُهدى لِعاصي
"
Saya (Imam Syafi’i) mengadu ke Kiai Waqi' tentang daya hafalku yang buruk.
Kemudian beliau menyarankan saya untuk meninggalkan maksiat. Beliau juga memberitahukan
saya
bahwa ilmu adalah cahaya, cahaya Allah tidak akan diberikan kepada
orang yang bermaksiat.”
Menurut pemahaman Yiman bahwa maksiat yang
dimaksud dalam ungkapan Kiai Waki’ bukan maksiat sebagaimana yang dipahami
dalam pengertian umum.
Maksiat di sini dimaknai kurang
wara’ atau zuhud atau hatinya berpaling dengan ketertarikan pada kenikmatan
dunia, lalai mengingat Allah swt.
Seorang ulama seperti Imam Syafii tentu tidak akan berbuat ‘maksiat’ dalam
artian yang kita pahami. Karena
dalam pandangan para ulama setingkat mereka, sebuah dosa kecil yang mungkin
dianggap ‘biasa’ dalam pandangan awam pun dirasakan sebagai dosa yang besar
yang sangat mereka sesali. Menurut beberapa riwayat, ‘maksiat’ yang dimaksud
oleh Imam Syafi’i di sini adalah bahwasannya beliau suatu ketika secara ‘tidak
sengaja’ melihat betis seorang wanita yang pakaiannya tersingkap oleh angin.
Kemudian ‘lemahnya hafalan’ tidaklah sama dengan
pandangan orang awam seperti kita. Karena kita semua tahu bahwa Imam Syafi’i
adalah Imam mazhab yang sampai pada level ‘Mujtahid Muthlaq’ yang hafal
ratusan ribu hadis. Namun walaupun demikian, beliau masih merasa hafalannya tidaklah sebagus yang beliau harapkan. Ini tidak lain hanyalah bukti
ketawadhuan atau kerendahan hati beliau di hadapan sang guru.
c.
Larangan Belajar
Tenaga Dalam
Di hadapan para
santri putra Yiman sering berpetuah, “ Kalian tidak boleh belajar tenaga dalam,
ilmu perdukunan, mahabbah dan sejenisnya. Siapa di antara kalian yang ingin
bisa menghilang atau bertemu dengan jin?” Tanya beliau. Santri tidak ada yang
menjawab. Selanjutnya beliau mengatakan, ” belajar menghilang, ingin bertemu
dengan jin itu tidak ada gunanya, bahkan hanya menambah dosa. Seraya beliau
mengutip ayat:
وَأنَّهُۥ كَانَ رِجَالٞ مِّنَ ٱلۡإِنسِ
يَعُوذُونَ بِرِجَالٖ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَق
“dan
sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan
mereka (manusia) bertambah sesat.” (Surat Al-Jinn, Ayat 6)
Beliau
melarang santri berlajar tenaga dalam karena menurut pengalaman beliau ilmu
tenaga dalam membutuhkan kerjasama dengan jin. Jin mau membantu atau menolong
manusia, akan tetapi minta imbalan yang lebih besar dengan berbagai macam
ritual yang pada akhirnya menggelincirkam manusia kepada kesyirikan. Memang ada
manusia yang bisa memerintah jin untuk membantu hajatnya. Ketika orang itu
sudah mati dan anak cucunya tidak mampu menguasainya, maka jin akan menyakiti
keturunan orang tersebut. Boleh belajar pencak silat untuk membela diri, tidak
disertai belajar tenaga dalam kecuali hanya sebatas latihan pernafasan.
d.
Melarang Santri
Jadi Penyanyi
Penyanyi, biduan dan profesi sejenisnya
(artis) dimata Yiman adalah keahlian yang tidak patut dibanggakan. Beliau
melarang para santri melihat orkes, ludruk atau menghadiri panggung hiburan.
Jika ada yang melanggar akan mendapat hukuman, antara lain cukur gundul. Beliau
mewanti-wanti para santri untuk tidak tertarik jadi penyanyi. Alasan beliau
sebagaimana firman Allah swt:
وَٱلشُّعَرَآءُ
يَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ (224) أَلَمۡ تَرَ أَنَّهُمۡ فِي كُلِّ وَادٖ
يَهِيمُونَ (225) وَأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ مَا لَا يَفۡعَلُونَ
“Dan
penyair-penyair (penyanyi-penyanyi) itu
diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap- tiap lembah. Mereka
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya).” (Surat
Asy-Syu'ara, Ayat 224-226).
Ketika manggung atau pentas kebanyakan para
peyanyi bergoyang sambil mempertontonkan
aurat, bercampur laki dan perempuan bahkan
diikuti mabuk-mabukan dan perbuatan tidak terpuji lainya. Apa yang
mereka lantunkan hanya omong kosong dan menjauhkan manusia dari mengingat
Allah.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ
لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ
أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ
“Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh azab yang menghinakan.”(Surat Luqman, Ayat 6)
Meskipun beliau tidak sampai pada kesimpulan mengharamkan musik, namun menjadi penyanyi harus dihindari karena penyanyi selalu diikuti perbuatan fakhsya’ dan mungkar, merusak moral masyarakat, khususnya generasi muda.
e.
Keluarga Berencana
Haram
Yiman yakin bahwa rezeki di
tangan Allah swt. Manusia tidak perlu khawatir untuk tidak makan asal mau
bekerja. Semua makhluk Allah sudah ada jatah rezekinya. Burung yang tidak punya
otak, berangkat pagi dan pulang sore dalam keadaan kenyang. Beliau bawakan
firman Allah swt:
وَلَا
تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَٰقٖۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ
وَإِيَّاكُمۡۚ إِنَّ قَتۡلَهُمۡ كَانَ خِطۡـٔٗا كَبِيرٗا
“Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki
kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”(Surat
Al-Isra', Ayat 31)
Aborsi sebesar apapun umur janin
adalah haram. Demikian pula membatasi kelahiran dengan semboyan dua anak cukup,
laki dan perempuan sama saja. Beliau menyatakan laki-laki dan perempuan tidak
sama, sambil menyitir potongan ayat:
وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ
كَٱلۡأُنثَىٰۖ (dan laki-laki tidak sama dengan perempuan). Beliau
termasauk ulama yang tidak setuju Program Keluarga Berencana yang digulirkan
pemerintah. Program KB dicurigai untuk membatasi populasi umat Islam. Selain
itu KB termasuk perbuatan destruktif yang tidak disukai Allah swt.
Sebagaiamana ayat Allah swt.:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ
لِيُفۡسِدَ فِيهَا وَيُهۡلِكَ ٱلۡحَرۡثَ وَٱلنَّسۡلَۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَسَاد
“Dan apabila dia
berkuasa, dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak
tanam-tanaman dan keturunan, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”-(Surat
Al-Baqarah, Ayat 205)
Ketidaksetujuan
beliau pada KB sejalan dengan praktek beliau dalam membangun mahligai rumah
tangga. Menurut beberapa sumber, termasuk yang ditulis dalam buku berjudul
“Sekokoh Karang Seteduh Pohon Asam”, dari tiga orang istri, beliau dikarunia 30
orang anak dan dari 30 anak yang hidup
sampai dewasa sejumlah 22 orang. Beliau bukan termasuk orang berada, namun
anak-anak beliau semua bisa sekolah bahkan sampai keluar negeri. Benar-benar
rezeki dari Allah swt . Ono dino ono sego (ada hari ada nasi).
Beliau
termasuk ulama yang kritis terhadap rezim Orde Baru. Antara lain beliau secara terbuka melawan program KB
sebagai program unggulan rezim kala itu. Ketika penulis kurang lebih satu tahun
belajar di pondok, beliau diciduk aparat dan ditahan selama 3 bulan dengan
tuduhan terlibat Komando Jihad bersama beberapa kolega dan murid-muridnya,
antara lain: KH. Ahmad Munir, KH. Najih Bakar, KH Mahbub Ihsan, KH. Umar Hasan
dll. Mereka ditahan/dipenjara tanpa proses hukum yang benar, bahkan KH. Umar
Hasan menjalani hukuman 7 tahun lamanya. Sampai hari ini tak jelas apa itu
Komando Jihad. Semoga amal mereka semua diterima di sisi-Nya. Amiin!
5.
Ihtitam
Mohon maaf bila perspektif
penulis tentang petuah Yiman tidak sebagaimana yang dipahami santri beliau yang
lain. Kata akhir ditutup sebuah puisi. Mengenang sosok sang kiai. Entalah,
puisi macam apa ini. Semoga dapat dinikmati. Kritik dan saran selalu dinanti.
Posting Komentar untuk "LIMA PETUAH YIMAN"