PENETAPAN NON EXECUTABLE BERSIFAT FINAL AND BINDING
Produk pengadilan perdata ada dua
jenis, yakni putusan dan penetapan. Putusan adalah produk pengadilan dalam
rangka menyelesaikan perkara kontensius, sementara penetapan adalah produk
pengadilan dalam rangka menyelesaikan perkara volunter atau penetapan lain
dalam proses mengadili maupun proses penyelesaian perkara (eksekusi).
Salah satu produk pengadilan yang
dikeluarkan ketua pengadilan adalah penetapan non executable (eksekutabel),
yakni penetapan yang lahir karena
permohonan eksekusi yang diajukan oleh Pemohon eksekusi terhadap putusan yang BHT (Berkekuatan Hukum Tetap) setelah
dilakukan kajian atau upaya praeksekusi sesuai dengan prosedur hukum acara yang berlaku, tidak dapat dilaksanakan.
Hal eksekusi tidak dapat
dilaksanakan (non executable) menurut
ketentuan dalam Buku II Edisi 2013 halaman 133 adalah jika:
1)
Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif.
2)
Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan
tergugat/termohon eksekusi.
3)
Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang
yang disebutkan di dalam amar putusan.
4)
Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk
dilaksanakan.
5)
Ketua pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tidak dapat
menyatakan suatu putusan non eksekutable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi
dilaksanakan, kecuali yang tersebut pada butir 1).
6)
Penetapan non eksecutable harus didasarkan berita
acara yang dibuat oleh juru sita yang melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut.
7)
Penetapan non eksekutabel bersifat final dan tidak
dapat diajukan keberatan.
Bahwa yang dimaksud dengan putusan yang
bersifat deklaratoir dan kontitutif pada butir
1 di atas, menurut Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara
Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan , adalah :
a. Putusan Deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang
tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan
atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Pernyataan itu dicantumkan
dalam amar atau diktum putusan. Misalnya, putusan deklarator yang menyatakan
ikatan perkawinan sah, perjanjian jual beli sah, hak pemilikan atas benda yang
disengketakan sah atau tidak sah sebagai milik penggugat, harta yang
diperkarakan adalah harta warisan penggugat yang berasal dari harta peninggalan
orang tuanya. Jadi, putusan deklarator berisi pernyataan atau penegasan tentang
suatu keadaan atau kedudukan hukum.
b. Putusan
konstitutif (constitutief
vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik
yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan
hukum baru. Contoh putusan konstitutif antara lain, putusan perceraian,
merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan
antara suami dan istri, sehingga putusan konstitutif itu meniadakan hubungan
perkawinan yang ada dan berbarengan dengan itu timbul keadaan hukum baru kepada
suami dan istri sebagai janda dan duda.
Bahwa barang
yang akan dieksekusi tidak di tangan Termohon eksekusi, maksudnya tidak dibawah kekuasaan termohon eksekusi,
boleh jadi karena adanya peralihan hak,
menjadi jaminan utang dengan bukti otentik , perubahan hak berdasarkan
peraturan-perundang-undang (menjadi tanah negara) dll.
Bahwa objek
yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan bunyi amar putusan. Eksekusi pada
prinsipnya adalah melaksanakan amar putusan, jika keadaan objek eksekusi tidak
sesuai amar putusan, maka eksekusi tidak bisa dijalankan. Misalnya pada amar putusan
objek eksekusi berupa tanah kosong, ternyata di lapangan tanah yang dimaksud
berdiri bangunan permanen dengan luas dan batas-batas tidak sesuai dengan amar.
Amar putusan
tidak mungkin dilaksanakan eksekusi dengan berbagai sebab, misalnya tanah yang
akan dieksekusi hilang ditelan abrasi, longsor atau lekuefaksi (tanah mencair
dan bergerak saat gempa), atau sebab non teknis.
Terhadap penetapan non executable bersifat
final and binding, meminjam istilah Mahkamah Konstitusi, (terakhir dan tidak dapat diajukan keberatan
atau diganggu gugat). Hal demikian karena eksekusi adalah kewenangan atau ranah
pimpinan pengadilan tingkat pertama, ketua atau wakil. Mahkamah Agung maupun
pengadilan banding tidak punya hak atau otoritas untuk menguji penetapan dimaksud.
Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa
penetapan non executable bisa diajukan kasasi dengan merujuk kepada Pasal 43 Undang-Undag Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, yang berbunyi:
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya
jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang.
Penjelasan Pasal 43 Ayat (1) Pengecualian
dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat
Pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Atau
berdasar pada ketentuan
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:
(1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Mereka
memahami bahwa yang dimaksud penetapan dalam pasal ini termasuk penetapan
non executable, padahal dari segi teori hukum maupun praktek peradilan,
maksud penetapan dalam hal ini adalah
produk majelis hakim atau hakim tunggal
dalam menyelesaikan perkara volunter.
Perkara volunter tidak ada unsur sengketa, hanya permohonan
sepihak untuk menetapkan suatu kedudukan hukum atau
sah tidaknya suatu hubungan hukum dan memang
tidak ada upaya banding, upaya hukum langsung kasasi.
Penetapan
non executable jelas tidak bisa dilakukan upaya hukum biasa (kasasi) karena
penetapan non executable lazimnya
diberlakukan terhadap putusan perkara kontensius yang telah berkekuatan
hukum tetap. Eksekusi terhadap putusan serta merta tidak wajar jika berujung kepada non executable, mengingat
syarat putusan serta merta sangat ketat.
Apabila
pemohon eksekusi mengajukan kasasi terhadap penetapan non executable, maka dapat
dikualifikasi sebagai kasasi yang tidak memenuhi syarat fomil sehingga berdasarkan
Pasal 45 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI., sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 ketua pengadilan dapat menyatakan permohonan
a quo tidak dapat diterima.
Penetapan
ketua dimaksud harus didahului pernyataan penitera bahwa permohonan pemohon tidak memenuhi syarat formil disertai alasan hukumnya. Penetapan ketua mengenai
permohonan tidak dapat diterima dikirim
ke Mahkamah Agung RI melalui surat resmi/dinas dan diberitahukan kepada pemohon
eksekusi oleh juru sita/jurusita pengganti.
Wal
hasil, Terhadap penetapan non executable tidak ada upaya hukum apapun kerena
besifat final and binding (terakhir danmengikat).
Oleh karenanya sebelum menentukan penetapan non executable semua prosedur
eksekusi harus dilalui dengan benar.
Daftar Bacaan
1. Undang-Undag Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
2. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang_undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung RI;
3. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI;
4. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032SK/IV/2006
tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelasanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, Buku II Edisi Tahun 2013;
5. M. Yahya
Harahap, S.H, Hukum Acara
Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta , 2017;
Posting Komentar untuk "PENETAPAN NON EXECUTABLE BERSIFAT FINAL AND BINDING"