Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LEBARAN DAN BUDAYA SUNGKEM

 


            Lebaran dari kata lebar atau penghabisan, kesalahan dan dosa kepada Sang Pencipta dan sesama manusia sudah lebar atau lebur. Dosa kepada Sang Pencipta lebar dan lebur saat menjalani siyam dan qiyam di bulan Ramadan, maka bulan sesudahnya, Syawal saatnya saling memaafkan untuk melebur dosa sesama manusia.

     Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Tradisi Lebaran yang diawali di Jawa akhirnya meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global.

Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.

Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain. FirmanAllah Swt. dalam  Surat Ali Imran ayat 134:

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,

Dalam budaya Jawa, lebaran diwujudkan dengan budaya  “sungkem” kepada orang yang lebih tua, terutama jalur ke atas, ayah bunda, kakek-nenek. Sungkem merupakan bentuk penghormatan  bukan simbol kerendahan derajat, justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. 

Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka, terutama orang tua?

Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masing masing, terutama  kepada yang lebih tua. Orang tua dalam tradisi Jawa disebut pepunden. Seseorang yang sangat dihormati karena diyakini dapat  menimbulkan ridlo dan murka Allah swt.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Dari Abdullah bin Amr ra. dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Ridho Allah terdapat pada ridho orang tua, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya orang tua." (HR. Tirmidzi).

Tentu sungkem juga ada batasnya, jangan sampai menimbulkan prilaku yang tidak wajar, menganggap orang tua sederajat dengan Tuhan, dapat memberikan berkah dst. Walahu a'lam bi shawab.

Posting Komentar untuk "LEBARAN DAN BUDAYA SUNGKEM"