Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SUMBER-SUMBER FIKIH

 


azahri.com
~ Semua hukum yang terdapat dalam fikih Islam kembali kepada empat sumber,  yaitu: Al Qur'an Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas, dengan penjelasan sebagai berikut

1.      Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad Saw. untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fikih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertama kali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.

Sebagai contoh: Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, niscaya kita akan   mendapatkannya dalam firman Allah swt:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [المائدة : 90]

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

 

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah:وَأَحَلَّ الله ُالْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا [البقرة : 275] Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

 

2.    As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :قَالَ « سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ  “Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran” (Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4 037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708).

 Contoh perbuatan:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ ، وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا-  صحيح البخارى - (7 / 363)

Dari Abi Salamah bin Abd Rahman, ia bertanya kepada Aisyah ra. tentang shalat malam Rasulullah di bulan Ramadhan. Kata Aisyah: Rasulullah shalat malam di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan tidak lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan kamu bertanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat, jangan kamu bertanya tentang bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.

Hadits tersebut di atas adalah penjelasan Aisyah tentang tatacara (perbuatan) Rasulullah saw. dalam  shalat malam. (Bukhari: 2013, Muslim: 1757).

Contoh persetujuan :

عَنْ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَى رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يُصَلِّى بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَلاَةُ الصُّبْحِ رَكْعَتَانِ ». فَقَالَ الرَّجُلُ إِنِّى لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا فَصَلَّيْتُهُمَا الآنَ. فَسَكَتَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم. قال الشيخ الألباني : هذا الجديث صحيح -  سنن أبي داود - (1 / 406)

Dari Qois bin Amer, ia berkata bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”. Menurut Al Bani hadits ini shahih. Menurut Al Bani hadits ini shahih. (Sunan Abu Daud:1267)

Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas Al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam As Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda: 

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى-...صحيح البخارى - (3 / 69(

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat..(Bukhari no. 631)

Kedua, bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahan dalam al Qur’an maka kita merujuk kepada As-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi Saw. dengan sanad yang sahih. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3.  Ijma’ bermakna: kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut, baik pada generasi sahabat atau sesudahnya akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’ dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى الْخَطَأِ -  لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلالَةِ،  وَلَمْ يَكُنْ الله ُلِيَجْمَعَ أُمَّتِي عَلَى الضَّلالَةِ وَ سَأَلْت اللَّهَ تَعَالَى أَنْ لا يَجْمَعَ أُمَّتِي عَلَى الضَّلالَةِ فَأَعْطَانِيهَا- المستصفى - (1 / 349)

Bahwa Nabi saw bersabda:”Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan”.

Contohnya: Ijma’ para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula Sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakati oleh para ulama Muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

3.        Qiyas, yaitu mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.

Pada qiyas inilah kita merujuk apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas. Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fikih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i). Wallahu ‘alam bi shawab.

Posting Komentar untuk "SUMBER-SUMBER FIKIH"