Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Umat Pertengahan

Bola  Dunia Di Tengah Genggaman


azahri.com

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...
”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”...( al Baqarah ayat 143)
Wasath dari kata “wasatha-yasithu-wasathan“, arti harfiahnya pertengahan. Dalam tafsir Jalalain wasath diartikan adil dan pilihan. Ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mu`jam Mufradât Alfâzh al-Qur'ân mengatakan bahwa kata wasath berarti sesuatu yang memiliki dua sisi dengan ukuran yang berimbangan (ma lahu tharâfani mutasâwiyâni 'l-qadr).baca selanjutnya

Umat pertengahan itu berarti umat yang mengambil sikap tengah, tidak berhaluan  ke kiri-kirian dan tidak terlalu ke kanan, bukan ektrim kiri dan tidak pula ektrim kanan, tidak masuk kelompok liberal dan tidak juga fundamental; berada di garis tengah antara kedua kutub tersebut.  

Dalam mengelola kehidupan umat pertengahan bersikap adil, tidak terjebak pada spritualisme; mengutamakan kehidupan rohani dengan terus-menerus beribadah di masjid seraya mengabaikan urusan jasmani/duniawi. Tidak pula materialisme, yaitu seluruh aktifitas hidupnya untuk mengejar kehidupan materi guna memenuhi kebutuhan indrawi.
Terkait dengan hubungan kepemilikan/modal tidak cendrung kepada kapitalisme, mengagungkan hak-hak individu dengan upaya menumpuk harta untuk kepentingan pribadi tanpa peduli kepada orang lain. Dan tidak pula berfaham komunisme, dimana hak individu terhadap aset telah digantikan kekuasaan negara, sehingga hak-hak induvidu tidak diakui lagi. Umat pertengahan berdiri di tengah, dalam arti hak individu dihargai, tetapi pada hak individu ada hak orang lain sebagai perwujudan kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks fiqhiyah (pemahaman keagamaan), tidak semata-mata salafi dan juga bukan anti khalafi, namun berada pada maqom wasathi. Faham salafi cendrung memutlakkan  pendapat atau pemahaman  ulama tempo dulu: era shahabat, tabi’in, tabi’ut-tabiin dan entah sampai era mana, belum jelas batasannnya. Seraya menafikan hasil ijtihad ulama yang datang belakangan bila pendapat mereka tidak sama atau bahkan belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu (salaf).  
Sementara kelompok khalafi lebih berpihak pada pendapat ulama masa kini, terutama dalam hal-hal yang belum pernah ada atau terjadi pada zaman Islam generasi awal, tanpa perlu mengklarifikasi subtansi pendapat tersebut dengan nash-nash umum sebagai bingkai syari’at. Adapun faham wasathi  mengambil pendapat/hasil ijtihad dari kedua jalur tersebut sepanjang memiliki dasar pijakan nash yang kuat.
Faham salafi lebih kental bernuansa tekstual, sementara khalafiyah lebih bercirikan konstektual. Wasathiyah berdiri di antara keduanya, yaitu berkarakter tekstual – konstektual. Salafiyah lebih bercorak fundamental dan khalafiyah bercoral liberal, sedang wasathiyah bergaya moderat.
Umat pertengahan yang berwatak adil dan unggul  tidak memutlakkan pendapatnya pasti benar dan tanpa cacat, juga tidak mudah menjustifikasi pendapat orang lain salah, bertentangan dengan syari’at, bahkan bid’ah dhalalah. Tapi bersikap lebih kritis, bijak  dan arif demi kemaslahatan, persatuan dan kesatuan umat Islam.
Ciri umat ini adalah berpikir secara holistik (menyeluruh). Tidak hanya mengambil satu ayat, melainkan setiap ayat dikaitkan dengan ayat lain. Tidak hanya itu, juga dikaitkan dengan hadits, serta pandangan-pandangan para sahabat Rasulullah. Selain itu, bersikap tawazzun (seimbang), karena segala sesuatu yang seimbang itu baik.
Kasus yang masih sering mengemuka di kalangan umat dan menjadi bahan mudazakarah di antara mereka adalah masalah bid’ah dan segala aspeknya. Bid’ah terkadang dijadikan amunisi untuk menyerang kelompok lain, bahkan sebagai alat takfir antar saudara sesama Muslim.
Untuk memperoleh gambaran singkat tentang bid’ah dari pendekatan: kelompok salafi, khalafi dan wasathi dapat dihadirkan paparan sebagai berikut:
Pengertian bid’ah di antara ketiga kelompok tersebut di atas nyaris tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Pada umumnya yang dimaksud bid’ah secara lughowi adalah: membuat sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Dan dalam istilah agama berarti membuat sesuatu cara yang baru dalam ibadah tanpa ada dasar hukumnya. Sesuai fieman Allah swt:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ [البقرة : 117]
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya: &Jadilah&. Lalu jadilah ia.
Jika kita telaah perbedaan di antara mereka yang mencolok adalah pada tingkat implentasinya/penerapannnya.
Pertama, kelompok salaf menetapkan bahwa semua hal baru dalam agama yang tidak ada contoh atau tidak pernah dilakukan  Rasulullah dan para shahabat masuk katagori bid’ah, dan semua bid’ah dhalalah. Argumentasi yang sering mereka kemukakan antara lain sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم - مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ .
&Barangsiapa yang membuat (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kita ini, yang bukan darinya (Al-Qur'an dan Hadits) maka dia adalah tertolak.& (HR Bukhari dan Muslim)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ، وَشَرَّ الأُ مُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ (
&Sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan sejelek-jelek perkara (dalam agama) adalah yang diada-adakan. dan setiap bid'ah (yang diada-adakan yang baru) itu sesat”. (HR Muslim)
Berdasarkan dalil hadits tersebut di atas mereka (salafiyah) berpendapat: peringatan Mauild Nabi, Tahun Baru Islam,  Isra’-Mi’raj, mengadakan acara Halal bi Halah, menentukan waktu shalat dengan jadwal waktu dan jam, mengetahui awal bulan (Ramadhan dan Syawwal) dengan hisab dsb. adalah bid’ah secara mutlak dan perbuatan sesat, karena Rasulullah dan para shahat tidak pernah mengerjakan hal itu. Jika hal-hal tersebut memang punya nilai ibadah kepada Allah swt tentu rasul dan para shahabat pasti mengerjakannnya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan penulisan al Hadits, sistem pembelajaran dengan menggunakan tingkat dan kelas, memberi honor/gaji kepada guru/ustadz, yang zaman nabi dan para shahabat belum pernah dilakukan, apa termasuk bid’ah sesat juga?
Kedua, kelompok khalaf. Menurut kelompok ini bahwa tidak semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bid’ah yang sesat, karena ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’nya). Mereka mengatakan bid’ah itu ada yang baik dan ada yang jelek, sebagaimana  pendapat  Imam Syafi’i:
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ: مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”. (Ushulul Iman Juz I, hal 166). Juga pendapat Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :نِعْمَِ اْلبِدْعَة هذِهِ Sebagus bid’ah itu ialah ini”. Disamping itu, adanya bid’ah hasanah dan sayyiah mereka berhujjah dengan  hadits Nabi SAW. sebagai berikut:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. صحيح مسلم - (2 / 704)
Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, maka memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat, tapi bid’ah hasanah, karena tidak bertentangan dengan nash syariah. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main judi dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
Ketiga, Kelompok tengah yang mengambil posisi di antara keduanya. Kelompok ini. membagi urusan agama (ibadah) menjadi dua bagian: ibadah mahdhah (khusus) dan ibadah ghoiru mahdhah (ibadah umum) atau disebut juga muamalat duniawiat. Dalam urusan ibadah mahdhah mererka berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim tersebut di atas, yakni “barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan ...dst. Yang dimaksud dengan “mengada-adakan dalam urusan kami” ialah mengadakan sesuatu dengan kemauan sendiri dalam hal ibadah mahdhah, baik secara keseluruhan ataupun  sebagian dengan cara menambah yang sudah baku. Seperti menambah lafadz adzan dengan bacaan shalawat, melafadzkan niat shalat dsb.
Adapun kedudukan Hadis yang berbunyi “man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan ... dan seterusnya” difahami dalam konteks ibadah umum (mu’amalah duniawiat) bukan dalam konteks ibadah mahdhah. Seperti: menetapkan sistem organesasi, membangun sekolah dengan sistem tingkat dan kelas serta bukti akhir studi diberi ijazah dsb. bukan perbuatan bid’ah, tapi sunah (perbuatan) yang baik.
Dengan demikian bid’ah menurut kelompok ketiga hanya ada dalam ibadah mahdhah saja, di luar ibdah mahdhah bukan  bid’ah namanya, maka tidak dikenal bid’ah hasanah yang ada semua  bid’ah itu adalah sesat.
Mereka berpendirian bahwa membuat sesuatu yang baru dalam agama (ibadah mahdhah) adalah haram hukumnya, karena hukum asal dalam ibadah mahdhah  adalah tauqif (terbatas pada apa yang diajarkan oleh syari'at).
أَنَّ الأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ، وَلَمْ تَصِحَّ الزِّيَادَةُ عَلَى ذَلِكَ - شرح البهجة الوردية - (4 / 150)
Asal ibadah itu penetapan, tidak dibenarkan adanya tambahan. Dalam  ibadah mahdhah otoritas berada pada Allah dan rasul-Nya, sehingga setiap ibadah yang kita lakukan harus berdasarkan nash. Jika  tidak ada nash maka tertolak. Sementara membuat sesuatu yang baru dalam hal keduniaan/muamalat duniawiat boleh-boleh saja, karena hukum asal dalam keduniaan  itu adalah mubah
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ .- الأشباه والنظائر - (1 / 107)
Asal masalah keduniaan itu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.
Bersandar cara pandang tersebut di atas, maka kelompok tengah  dalam menentukan apakah sesuatu perkara itu bid’ah atau tidak harus dilihat dari subtansinya (motivasi dan pelaksaannya). Bila perbuatan yang diada-adakan itu dianggap syariat Islam dengan tata cara yang standar dan baku layaknya ibadah mahdlah, tidak boleh kurang dan lebih, maka  masuk wilayah bid’ah. Tapi jika sesuatu yang baru itu di luar ibadah mahdhah dan hanya sebagai media dakwah, tidak diyakini sesuatu yang baku dengan ritual khusus, maka tidak masuk area bid’ah. 
Contoh, peringatan maulid Nabi. Manakala hanya sebagai wasilah/media untuk menjelaskan sirah nabawiyah melalu ceramah umum atau khusus, bukan masuk bid’ah. Namun bila disebut perayaan dengan kaifiyah tertentu: membaca berzanji, dziba’ dengan shalawat qiyam dan julusnya, percaya roh nabi datang dsb, dan diyakini ritualnya harus seperti itu, maka  masuk perbuatan bid’ah.
Kelompok salafi dalam memandang sesuatu yang baru yang terkait dengan urusan agama, tanpa dipilah dan dipilih terlebih dahulu dengan serta merta dihukumi barang bid’ah. Sehingga banyak sekali praktek keagamaan di kalangan umat yag didakwa bid’ah dan sesat hanya karena zaman nabi belum pernah ada. 
Sementara kelompok khalafi memahami bahwa sesuatu yang baru bila baik dan tidak bertentangan dengan syariat sah-sah saja diamalkan, jikapun disebut bid’ah masuk bid’ah hasanah. Nyaris di kalangan mereka tidak ada bi’ah yang sesat. Kelompok wasathi melihat sesuatu yang baru secara lebih kritis dan diteil. Jika yang baru itu dalam urusan ibadah mahdhah maka masuk barang bid’ah, namun bila inovasi baru itu dalam urusan ibadah umum maka bukan barang bid’ah, baleh jadi masuk sunatan hasanatan (perbuatan yang baik).
Menurut pengamatan penulis Muhammadiyah layak menyandang maqom umatan wasathan, berdasarkan dokumen resmi yang dihasilkannya dan pernyataan para tokohnya, baik lisan maupun tulisan serta sikap dan prilaku warga/simpatisannya. Wallahu ’alam bishawab.

Posting Komentar untuk "Umat Pertengahan"