Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

APLIKASI HAK PILIH DALAM BINGKAI NILAI-NILAI ISLAM


APLIKASI  HAK PILIH  DALAM BINGKAI NILAI-NILAI ISLAM

            azahri.comHidup adalah pilihan. Maknanya bahwa dalam hidup dan kehidupan ini memilih dan dipilih adalah suatu keniscayaan. Keharusan memilih itu mulai dari hal-hal yang prinsip sampai pada sesuatu yang sepele. Memilih jalan hidup: mukmin atau kafir, surga atau neraka; sampai pada pilihan yang remeh temeh: warna baju, makanan kesukaan dsb.
       
            Dalam kehidupan modern yang menjunjung kebebasan individu untuk berekpresi menyuguhkan pilihan yang semakin beragam. Hal yang semula harus kita terima apa adanya dan tabu untuk dipilih sekarang mengharuskan  kita memilih. Salah satu aspek kehidupan  yang menghadapkan  kita pada pilihan, bahkan telah ditetapkan sebagai hak konstitusiaonal adalah memilih pemimpin/wakil rakyat.
Sebagai warga negara yang beragama Islam, disamping terikat oleh hukum positif (hukum yang sekarang berlaku) juga terikat oleh nilai-nilai Islam yang paripurna dan universal. Paripurna karena aturan Islam serba meliputi dan mencukupi. Mengatur segala aspek kehidupan, baik aspek kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Juga meliputi  segala bidang: sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik, pertahanan keamanan,  pemerintahan, ketatanegaraan dsb. Universal, berlaku di semua tempat dan melintasi  zaman, tidak dibatasi teritorial suatu negara dan rentang waktu.
            Salah satu bidang yang menjadi obyek pengaturan Islam adalah menegakkan kekuasaan, baik kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Hukum menegakkan kekuasan/kepemimpinan untuk kemaslahatan umat adalah fardhu kifayah, artinya diantara sekian orang Islam harus ada yang menjadi ulil amri (pemangku kepentingan), yang dipercaya mengurus urusan mereka. Jangankan pada level kehidupan berbangsa dan bernegara pada komunitas yang terbatas sekalipun ulil amri/pemimpin harus dibangun:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ) .سنن أبى داود - (8 / 54(
Rasulullah bersabda : Apabila tiga orang bepergian hendaklah diangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.”(HR. Abu  Daud)
Ketika Rasulullah SAW wafat, para sahabat tidak memakamkan Rasulullah SAW sebelum ada pemimpin yang menggantikan beliau - padahal mengubur mayat hukumnya wajib- tetapi karena belum ada pemimpin yang menggantikan Rasulullah, maka para sahabat belum memakamkannya. Baru setelah melalui musyawarah tiga hari lamanya terpilihlah Abu Bakar Ash-shiddiq RA, baru kemudian Rasulullah dimakamkan. Ini menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam.
Bila telah diangkat/dipilih ulil amri dari  cabang-cabang kekuasaan negara tersebut di atas, setiap Muslim wajib mentaatinya, sepanjang mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. (an Nisa’:59). Begitu pentingnya ketaatan kepada ulil amri, sehingga sesaat setelah  Rasulullah mengangkat panglima perang,  Abdullah bin Hudzafah, beliau bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى الله َ ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِى فَقَدْ أَطَاعَنِى، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِى فَقَدْ عَصَانِى - صحيح البخارى - (23 / 353)
 “…barang siapa taat pada pemimpin (yang aku angkat) maka taat kepadaku dan barang siapa yang maksiat kepada pemimpin( yang aku angkat) maka telah maksiat  kepadaku.”(HR. Bukhori)
            Demi kemaslahatan bersama kita harus mengangkat pemimpin dan pemimpin yang kita tetapkan mengharus untuk ditaati, maka tindakan tidak mau tahu dalam soal kepemimpinan, tidak menggunakan hak pilihnya (golput) adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab.
Mengingat nashbul imamah (menegakkan kepemimpinan) suatu hal yang sangat subtantif dalam bingkai kehidupan berjamaah dalam Islam, maka Islam telah menggariskan nilai-nilai universal yang harus kita pedomani dalam memilih/mengangkat pemimpin, yaitu:

1.  Pemimpin yang kita pilih/angkat harus seiman, tidak boleh non Muslim dengan dalih apapun. 

      An Nisa’: 144, al Maidah: 51 dan al Maidah: 57). Ayat-ayat tentang ini termasuk ayat yang muhkam (jelas dan terang), tidak ada multi tafsir. Orang Islam di zaman Nabi yang cendrung memilih orang Kafir, Yahudi dan Nasrani sebagi pemimpin adalah kaum Munafik. Yang dihadapan Nabi dan para shahabat mengaku Islam, tapi di belakang merongrong Islam dan tidak suka Islam jaya.
Kalau kita hubungkan dengan keadaan sekarang, era demokratisasi, khususnya di Indonesia apakah masih tetap relevan? Apakah tidak dikatagorikan pendapat yang ekslusif dan diskriminatif? Tentu saja tidak bisa diklaim antidemokrasi, ekslusif dan diskriminatif karena terkait dengan hak seseorang untuk memilih. Seseorang akan menjatuhkan pilihan  tentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dilatarbelakangi oleh keyakinan agama, pendidikan, budaya, lingkungan dan sebagainya.

2.  Apabila calon yang akan kita pilih/angkat itu telah memenuhi kreteria seiman maka yang harus kita lihat berikutnya adalah kualitas keimanannya, dengan melihat track record-nya selama ini dari berbagai aspek, sehingga yang kita pilih benar-benar yang berkualitas. 

      Sebagaimana statemen Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at Taubah: 23)
      Kualitas keberagamaan/keimanan seseorang akan terwujud dalam karakter atau kepribadiannya. Iman yang kuat menghadirkan: kejujuran/integritas (ashidqu), tanggungjawab/akuntabilitas (amanah), transparan/komunikatif (tabligh) dan cerdas/aspiratif (fathonah). Jangan pilih yang obral janji tanpa bukti, pandai pencitraan diri minus aksi, hanya bermodal spekulasi.

3.  Disamping melihat kualitas pribadi sang calon pemimpin, yang tidak kalah pentingnya adalah melihat orang-orang disekitarnya atau team suksesnya (partainya) karena team suksesnya inilah yang akan menentukan kiprah sang pemimpin di masa kepemimpinanya. 

      Hal ini bisa kita pahami dari ungkapan Nabi saw:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ الله ِ -صلى الله عليه وسلم-  إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِىَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ الله ُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِىَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ. - سنن أبى داود - (9 / 42)
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “ Apabila Allah menghendaki pemimpin yang baik maka Allah menjadikan baginya pembantu/staf yang benar, jika dia  lupa, staf itu akan mengingatkanya dan nasehat itu akan bermanfaat baginya. Dan jika Allah menghendaki pemimpin yang tidak baik, Allah menjadikan staf yang jelek, jika dia salah tidak mengingatkan dan bila mengingatkan tidak berguna”. (HR. Abu Daud)
      Teman atau orang dekat sangat menentukan kiprah seseorang, karenanya Rasulullah saw. memberikan pernyataan :
وعن أَبي هريرة - رضي الله عنه - : أن النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ - رواه أَبُو داود والترمذي بإسناد صحيح .
Dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw:”bersabda seseorang tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seoarang dari kalian  memperhatikan siapa temannya”.(HR. Abu Daud dan Tirmidzi dengan isnad yang shoheh)
Al Hasil, marilah kita jadikan panduan ketentuan-ketentuan tersebut di atas  dalam memilih pemimpin (anggota legislatif, presiden dsb) sehinggga Allah swt. akan menganugrahkan kepada kita pemimpin yang jujur, amanah, berani, adil dan cerdas sehingga dapat membawa bangsa kita menggapai kejayaan. Amin! Wallah a’lam bishowab.

Posting Komentar untuk "APLIKASI HAK PILIH DALAM BINGKAI NILAI-NILAI ISLAM"