PERBANDINGAN APLIKASI PERJANJIAN KREDIT BANK KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN BANK SYARI’AH
I. Pendahuluan
U
|
ndang-undang Nomor 03 Tahun 2006
tentang perobahan atas Undang-undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang peradilan
agama membawa subtansi perubahan yang cukup signifikan, khusunya yang berkaitan dengan absolute competency. Ada perluasan kewenangan
dalam absolute competency, yaitu sengketa zakat,. Infak dan ekonomi
syari’ah.read more
Pada pasal 49
huruf (i) revisi UUPA tersebut menyatakan bahwa pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaiakan perkara dalam bidang ekonomi
syari’ah. Penjelasan huruf (i) pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud ekonomi
syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi:
a.
bank syari’ah
b.
lembaga keuangan mikro syaria’ah
c.
asuransi syari’ah
d.
reasuransi syari’ah
e.
reksa dana syari’ah
f.
obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
g.
sekuritas syari’ah
h.
pegadaian syari’ah
i.
dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
dan
j.
bisnis syariah
Ada dua dimensi kajian
terhadap ekonomi syariah, yaitu ilmu
ekonomi syari’ah dan ilmu hukum
ekonomi syariah. Adapun yang menjadi kewenangan baru pengadilan agama adalah
hal-hal yang terkait dengan hukum
ekonomi syariah, dalam hal ini aspek hukum keperdataan terhadap 11
(sebelas) jenis perkara tersebut diatas.
Meskipun
ekonomi syariah adalah hal yang sama sekali baru bagi peradilan agama, namun ia
telah memiliki akar historis pada pemikiran
Islam klasik. Telah banyak kitab-kitab fiqh (bab muamalah) yang membahas
transaksi bisnis berdasar nash Al. Qura’an dan praktek Rasulullah serta para sahabat
Fatwa-fatwa MUI melalui Dewan Syaria’ah Nasional (DSN) yang berkaitan dengan
ekonomi syari’ah selama ini, tidak lain merupakan aplikasi fiqh muamalah dalam
merespon produk layanan dan mekanisme opersional perbankan syari’ah dan lembaga
syari’ah lainya. Oleh karena itu, para hakim di peradilan agama, yang sebagian
besar sarjana syari’ah, tentu tidak asing lagi dengan kajian fiqh muamalah
dimaksud. Di sisi lain, para hakim di peradilan agama telah terbiasa
menggunakan referensi fiqh murafa’at (nash-nash syar’iyah) dalam praktek
persidangan di pengadilan agama, disamping hukum positif HIR/ Rbg dan hukum
acara lainya.
Langkah strategis
berikutnya yang perlu dilakukan aparat peradilan agama, khususnya para hakim
adalah meningkatkan pengetahuan/wawasan tentang hal-hal tehnis operasional
ekonomi syari’ah, karena ekonomi syari’ah disamping hal baru juga senantiasa
berkembang seiring dengan perobahan zaman. Lebih baik bila ada hakim peradilan
agama yang mengkhususkan diri menekuni ekonomi syari’ah (spesialisasi). Dengan
demikian, peradilan agama akan dapat menepis keraguan sementara kalangan bahwa
peradilan agama tidak mempunyai kapabilitas menangani perkara ekonomi syari’ah.
Perkara
dalam bidang ekonomi syariah adalah perkara perdata dalam ruang lingkup hukum peranjian. Dalam hukum perjanjian akan timbul
sengketa apabila ada pihak yang wanprestasi/cedera janji atau pelanggaran
terhadap poin – poin yang telah disepakati dalam perjanjian. Dengan demikian, untuk
memeriksa dan mengadili sengketa yang
bersumber dari perjanjian yang harus di cermati adalah klausula-klausula
yang dibuat oleh para pihak.
Hal paling
penting bagi praktisi peradilan agama adalah mencari tahu bagaimana penerapan
hukum perjanjian dalam operasional ekonomi syariah, baik yang dibuat antara
orang perorang, antara lembaga ekonomi syariah dengan nasabahnya, maupun antar
lembaga ekonomi syari’ah itu sendiri.
.
Salah satu
lembaga ekonomi syariah adalah bank syariah, yaitu bank yang tata cara atau
operasionalnya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam/prinsip-prisnsip
Islam berdasarkan ketentuan Al.Quran dan
Hadits.
Sengketa
perbankan yang banyak terjadi, baik di bank konvensional maupun bank syariah
adalah masalah perkreditan, karena pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank.
Meskipun sengketa di bank syar’ah tidak sebanyak di bank konvensional, namun
menurut data dari Direktorat Perbankan Syari’ah Bank Indonesia bahwa sepanjnag
tahun 2005 hingga akhir 2006 sedikitnya terdapat 150 sengketa syari’ah dan
cendrung bertambah.
II. Perjanjian Kredit/Pembiayaan
Perjanjian
adalah suatau perbuatan kesepakatan antara seseorang/beberapa orang dengan
seorang /beberapa orang lainya untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Kalau
perbuatan itu mempunyai akibat hukum, maka perbuatan itu disebut perbuatan
hukum. Jadi perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia
secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajaban.
Perbuatan
hukum meliputi: perbuatan hukum sepihak,
yaitu perbuatan hukum yang dilakukan satu pihak saja dan menimbulkan kewajiban
pada satu pihak pula. misalnya: pembuatan surat
wasiat, pemberian hadiah, hibah dsb., perbuatan hukum dua pihak , yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak dan
menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak, misalnya:
perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa dsb.
Perjanjian
kredit merupakan faktor penting dan menjadi dasar dari pemberian kredit kepada
nasabah/debitur. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberian kredit seperti
jumlah kredit, syarat pencairan kredit dan faktor keamanan dari kredit yang
akan diberikan oleh bank, dapat dimasukan dalam perjanjian kredit. Ketelitain
dan keakuratan pencantuman syarat-syarat dalam perjanjian kredit akan
berpengaruh terhadap kesehatan bank.
Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia telah mengeluarkan Kebijakan
Perkreditan Bank ( KPB ) sebagaimana yang telah diatur dalam SK Direktur Bank
Indonesia Nomor. 27/ 162/ Kep /Diran dan SE Bank Indonesia Nomor. 27/ 7/ UPPB tanggal
17 Maret 1995.
Kebijakan
perkreditan bank meliputi rumusan kebijakan mengenai hal-hal penting yang
mencakup: prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organesasi dan menejemen
kredit, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit,
pengawasan kredit dan penyelesaian kredit bermasalah.
Pada bank yang beropersi berdasarkan prinsip
syari’ah telah disusun pula kebijakan perkreditan bank yang disebut dengan
istilah Kebijakan Umum Penanaman Dana (KUPD), dimana semua istilah/kata kredit diganti dengan istilah/kata pembiayaan/penanaman dana.
Kebijakan Umum
Penanaman Dana (KUPD) merupakan induk semua peraturan dan ketentuan pembiayaan
yang berlaku atau akan diberlakaukan di bank syari’ah. Disamping itu ada dua
petunjuk tehnis yang mengatur tentang pembiayaan, pertama Pedoman Pelaksanaan
Penanaman Dana (PPPN), berisi tentang prinsip-prinsip dasar produk pembiayaan
yang sesuai dengan kaidah syari’ah, yang kedua Prosedur Umum Pelaksanaan
Penanaman Dana (PUPPN) berisi tentang aturan/prosedur pembiayaan yang harus
dipatuhi oleh semua pejabat yang terkait.
Dengan
demikian pokok-pokok pengaturan mengenai pemberian pembiayaan harus
memperhatikan prosedur pembiayaan yang sehat dengan mengikuti semua peraturan
dan ketentuan yang berlaku, termasuk menentukan batasan jumlah maksimal
penyediaan keseluruhan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada pihak-pihak
yang terkait dalam angka prosentase terhadap jumlah keseluruhan kredit dan jumlah
modal bank, yag dalam hal ini dikenal degan istilah BMPK (Batas Maksimum
Pemberian Kredit). Juga diatur pula pembiayaan mana yang harus dihindari, yaitu
pembiaayaan untuk spekulasi, pembiayaan pada bidang yang tidak dikuasai,
pembiayaan tanpa informasi keuangan yang memadai, pembiayaan kepada nasabah
yang bermasalah dan untuk bank syari’ah harus menghindari/menolak suatu
pembiayaan yang bertentangan/tidak sesuai syari’ah, seperti: pembiayaan
perdagangan minuman keras, tempat-tempat hiburan dsb., meskipun keuntunganya
tinggi.
Setiap
pembiayaan yang telah diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
disetujui oleh bank , maka persetujuan tersebut harus disepakati oleh nasabah
pemohon permbiayaan, baru kemudian dibuat akad pembiayaan secara tertulis
dengan mengunakan bentuk dan format perjanjian standart yang berlaku pada bank
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum syari’ah serta hukup positp yang dapat melindungi kepentingan bank.
- Memuat jumlah , jangka wktu, tata cara pembayaran kembali pembiayaan dan persyaratan-persyaratan pembiayaan lainya.
III. Perjanjian Kredit Bank Konvensional
Sumber
hukum dari perjanjian kredit adalah : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH
Dagang, UUPT, SK Bank Indonesia, SE Bank Indonesia dll.
Perjanjian
kredit merupakan hukum perjanjian yaang menganut sistim terbuka, yang mengandung suatu azas kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Azas tersebut dapat disimpulkan dari rumusan pasal 1338
KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-udang bagi para pihak yang membuatnya.
Menurut azas
kebebasan berkontrak, suatu perjanjian dapat dilakukan baik secara lisan maupun
tertulis. Bagi perbankan sebagai suatu organesasi yang telah mapan dan dalam
kaitanya dengan tertib organesasi serta sebagi alat bukti dalam kepastian
hukum, maka perjanjian itu harus dalam bentuk tertulis. Dalam KUH Perdata juga
diatur mengenai sahnya suatu perjanjian yaitu pasal 1320, sedangkan batalnya
perjanjian diatur dalam pasal 1381.
Posisi hukum
bagi bank wajib diamankan antara lain dengan suatu perjanjian kredit sebagai
dokumen hukum. Hal ini sangat penting dalam pengamanan kegiatan usaha bank,
seperti yang tertuang dalam pasal 6 dan 7 UU No. 07 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 rahun 1998.
Ketidak sempurnaan
suatu perjanjian kredit menimbulkan masalah bagi bank yang bersangkutan,
terlebih lagi apbila usaha nasabah mengalami kerugian sehingga dapat
menimbulkan kredit macet.
Ada beberapa faktor
internal penyebab kredit bermasalah:
- Penarikan dana kredit oleh debitur sebelum dokumen kredit diselesaikan.
- Tidak ada usaha bank untuk mengawasi penggunaan kredit, sehingga timbul kemungkinan debitur menggunakan secara tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit.
- Penambahan kredit tanpa tambahan jaminan yang cukup.
- Tidak ada rencana dan jadwal pembayaran kembali kredit yang jelas atau tidak dilampirkan pada perjanjian kredit.
- Bank tidak berhasil menguasai jaminan secepatnya, ketika melihat tanda-tanda bahwa kredit yang diberikan ke arah kredit bermasalah.
Perjanjian kredit bank konvensional terdiri dari:
1.Judul
Biasanya ditulis dengan huruf
kapital “PERJANJIAN KREDIT”
2. Komparasi
Para pihak yang melakukan perjanjian kredit, yaitu antara
bank dengan debitur.
Masing-masing pihak sebagai subyek hukum dalam perjanjian kredit
tersebut, terdapat beberpa kemungkinan:
a.
Pihak yang bertindak untuk dan atas nama
dirinya sendiri.
b.
Pihak yang bertindak sebagai kuasa
berdasarkan surat
kuasa.
c.
Pihak yang bertindak sebagi wakil untuk
dan atas nama orang atau badan hukum lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Misalnya: direksi mewakili bank, direktur utama mewakili
perusahaan.
Perjanjian kredit diangap sah apabila ditandatangani oleh orang yang
mempunyai kewenangan. kewenangan bertindak seorang direktur perusahaan dapat
dilihat dari akta pendirian / anggaran dasar perusahaan.
3.
Isi
Perjanjian
Kredit memuat banyak sekali pasal-pasal yang merupakan klausula – klausula
dalam rangka menjamin pengamanan kredit yang diberikan lazimnya klausula –
klausula dimaksud antara lain:
a. Keterangan mengenai fasilitas kredit yang
diberikan seperti besarnya jumlah perkiraan dana yang diberikan debitur dan
wajib disediakan kreditur, serta jangka waktu perjanjian.
b. klausula tentang bunga kredit untuk
memberikan kapasitasnya tentang besarnya bunga yang harus dibayar dan hak
kreditur untuk memungut bunga.
c.
klausula tentang barang agunan.
d.
Biaya – biaya yang timbul sehubungan
dengan pemberian kredit seperti provisi, commitment fee bea materai dan
management fee.
e.
klausula tentang asuransi yang bertujuan
untuk mengalihkan resiko yang terjadi atas agunan.
f.
larangan – larangan yang tidak boleh
dilakukan debitur ( negative clause) tanpa terlebih dahulu dapat persetujuan
bank seperti:
¨
Untuk mengadakan perubahan
manajemen
¨
Mengadakan investasi baru
¨
Menangung hutang pihak lain
¨
Mengubah susunan kepemilikan atau
permodalan.
g. Klausula yang memuat seluruh data yang
harus diserahkan oleh debitur sebelum melakukan penarikan pinjaman (conditions
precedent)
h. Klausula tentang penarikan kredit (draw
down)
i. Representation and warranties,yaitu yang
isinya bahwa debitur menjajikan dan menjamin bahwa semua data dan informasi
yang diberikan debitur kepada kreditur
adalah benar.
j. Changes in circumstances yang meliputi
perubahan-perubahan yang mempengaruhi debitur atau kreditur yang mengakibatkan
biaya meningkat.
k. Klausula Negative Pledge,yaitu klausula
yang mencegah debitur untuk menjaminkan kekayaannya kepada kreditur yang
lainnya.
l. Use of proceeds,yaitu klausula yang
membatasi debitur dalam meggunakan dana yang diperuntukan bagi suatu proyek
atau tujuan tertentu.
m. Pihak bank dapat mengakhiri perjenjian kredit setiap waktu,apabila ada
hal-hal yang membahayakan fasilitas kredit yang diberikan antara lain:
¨ Dikemudian hari ternyata diketahui
debitur memberikan keterangan tidak benar pada bank.
¨
Debitur me3nggunakan kredit tidak
sesuai dengan tujuan.
¨ Debitur tidak dapat membayar
angsuran pokok, bunga dan kewajiban-kewajiban lainya tepat waktu.
¨ Menurut keputusan hakim, debitur
tidak diperbolehkan menguasai dan mengurus harta bendanya atau dikenakan
hukuman penjara.
¨
Debitur melanggar
larangan-larangan yang ditetapkan dalam perjanjian.
n. Penyelesaian kredit yang akan dilakukan sesuai dengan ketentuan
bank dan perundang-undangan yang berlaku, apabila debitur tidak dapat memenuhi
kewajiban sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian.
4.
Penutup
Lazimnya
berisi mengenai keterangan domisili dan kantor pengadilan yang ditunjuk apbila
terjadi sengketa antara debitur dan banknya. Penutup juga merupakan bagian
akhir dari perjanjian yang biasanya memuat mengenai tempa dan saat
penandatangan perjanjian diberlakukan oleh para pihak.
IV. Perjanjian Pembiayaan Syari’ah (Bank Syari’ah)
Kerangka hukum yaang diberlakukan.
Dua kerangka hukum yang dijadikan
sendi-sendi perjanjian pembiayaan syari’ah adalah hukum syari’ah dan hukum
positip. Jika dalam perjanjian kredit atau pembiayaan konvensional cukup
mengacu pada hukum positp saja, maka terhadap perjanjian pembiayaan syari’ah
sebelum produk pembiayaan syari’ah diterbitkan/dipergunakan secara mendalam,
bank syari’ah yang bersangkutan akan melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk
menghindari terjadinya benturan aatau deviasi hukum syari’ahnya.
Sumber hukum utama dari syaria’h
Islam:
1.
Al Qur’aan
2.
Al Hadits
3.
Sumber-sumber hukum lainya adalah ijma’,
qias dan maslahah mursalah.
Ijma’
(consensus) adalah kesepakatan para mujtahid dan umat Islam atas hukum syara’
(mengenai suatau masalah) pada saatu masa sesudah nabi wafat.
Qias (analogy)
adalah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam
nash (Al Qur’an dan Sunnah) dengan msalah yang sudah ada ketentuan hukumnya
dalam nash, karena adanya persamaan illat hukumnya ( motif hukum) antara kedua
maslah itu.
Maslahah
mursalah adalah kebaikan yang tidak terikat pada dalil/nash Al Qur’an dan
Sunnah. Menurut pengertianya adalah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak disebutkan sama sekali dalam Al Qur’an dan Sunnah atas pertimbangan
menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Al Qur”aan sebagai pedoman yang utama jika
seorang muslim mengadakan perjanjian dengan yang lainya maka ia berkewajian
untuk memenuhi kewajiban yang diperjanjikanya sesuai dengan ketentuan dalam surat Al Maidah ayat 1
yang terjemahnya sebagai berikut: “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu.”
Dalam
penyusunan akad di bank syri’ah tetap memenuhi peraturan Bank Indonesia termasuk peraturan
tentang akad yang baru, yaitu PBI NO. 07/46/PBI/2005.
Struktur
penyusunan dari perjanjian pembiayaan bank syari’ah menyerupai perjanjian
kredit bank konvensional hanya isi atau muatan pasal mengacu atau tidak
bertentangan dengan sisten syari’ah Islam, apabila diuraikan maka dapat
dibandingkan hal-hal yang membedakan dengan perjanjian kredit bank konvensional
sebagai berikut:
- Judul
Dalam
perjanjian bank syari’ah kata “Perjanjian Kredit” diganti dengan “Perjanjian
Pembiayaan” dan juga ditambahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan perjanjian,
:
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
“Hai
orang- orang yang beriman penuhilah akad perjanjian itu”
(Surat
Al Maidah ayat 1)
PERJANJIAN
PEMBIAYAAN MUDHOROBAH
Nomor:..........
- Komparisi
Para pihak yang melakukan perjanjian pembiayaan yaitu
antara bank dan debitur perlu diperhatikan mengenai subyek hukum dari nasabah,
baik perorangan maupun badan hukum. Apabila perorangan, maka harus didapat
data/status nasabah sudah menikah atau belum, sehingga diperlakukan izin
suami/istri.
Apabila badan
hukum perlu diperhatikan kewenangan pengurus
dalam melakukan tindakan hukum diperlukan izin komisaris atau tidak.
Apabila dilakukan secara notariel sebelum ditulis para pihak biasanya dimulai
dengan:
¨
Pada hari ini, Jum’at, tanggal
limaa belas Juni dua ribu enam (15-06- 2006).
¨ Menghadap pada saya, Muhamad Arif,
sarjana Hukum, Notaris di Ternate,dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya,
Notaris kenal dan nama-namanya akan disebutkan pada bagian akhir akta ini.
3. Isi
Perjanjian pembiayaan bank syari’ah
juga memuat pasal- pasal yang penting berdasarkan hukum positif dan tidak
bertentangan dengan syari’ah Islam. Klausula – klausula yang ada meliputi:
a.
Defenisi yang digunakan termaasuk istilah
syari'ah.
b. keterangan mengenai fasilitas pembiayaan
yang diberikan seperti besarnya jumlah pembiayaan, dan pada waktu yang
ditentukan juga, jenis pembiayaan ( Murabahah, Musyarakah atau Mudharabah )
c.
Penggunaan fasilitas pembiayaan.
Nasabah harus
mengerti, mengetahui dan menyepakati bahwa pembiayaan tersebut hanya untuk
barang/ proyek tertentu.
Penyimpangan
terhadap penggunaan pembiayaan akan berakibat tidak sahnya perjanjian kredit
atau pembiayaan karena objek perjanjian adalah pembelian barang / pelaksanaan projek,
bukan uang seperti perjanjian kredit bank konvensional ( pinjaman rekening
koran / PRK, fasilitas overdraft ).
d. Keuntungan dan pembayaran
Setiap pembiayaan yang
diberikan oleh bank syari’ah akan
diperoleh keuntungan. Misalnya dalam sistim jual beli atau fasilitas Murabahah
akan didapat keuntungan yang disebut margin keuntungan. Margin keuntunagan baik sendiri maupun secara bersama dengan
pokok pembiayaan akan diangsur setiap bulannya sesuai kesepakatan.
e. Barang agunan secara syaria’ah diatur dalam surat Al-Baqarah : 28.”
“ Jika kamu
dalam perjalanan dan bermua’malah tidak secara tunai, sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka
hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang”
f.
Biaya yang dibebankan
Adalah biaya
administrasi sebesar 1% dari total fasilitas pembiayaan
g. Pengutamaan Pembayaran
Pada bank syari’ah tidak
dikenakan denda terhadap setiap kewajiban pembayaran yang terlambat sebagaimana
yang tidak ditetapkan dalam jadwal pembayaran.
oleh karena
itu nasabah harus mengutamakan malkukan
angsuran pambayran atau cicilan atas pembiayaan secara tertib dan teratur dari
pada kewajiban pembayaran kepada pihak lain
h.
Peristiwa cedera janji
Nasabah
dinyatakan wanprestasi atau cedera janji apabila tidak melaksanakan kewajiban
yang tertuang dan disepakati dalam perjanjian pembiayaan.
i.
Hukum yang mengatur.
Perjanjian
pembiayaan tetap diatur oleh hukum sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia.
Suatu sengkaeta yang timbul atau dengan cara apapun yang ada hubunganya dengan
perjanjian pembiayaan ini yang tidak dapat diselesaiakan secara damai akan
diselesaiakan melalui dan menurut Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS) dan Pengadilan Agama sesuai dengan Undang-undang No.03
Tahun 2006 tentang Perobahan Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
- Penutup
Dalam perjanjian pembiayaan syari’ah hampir sama dengan perjanjian
kredit bank konvensional umumnya, yaitu domisili masing-masing pihak,
biaya-biaya yang timbul atas perjanjian pembiayaan seta ditutup dengan
penandatangan para pihak dan saksi-saksi.
V. Kesimpulan
Berdasarkan
aplikasi perjanjian bank konvensional dan bank syari’ah, maka dapat disimpulan:
1.
Perjanjian kredit bank konvensianal
bersumber dari hukum positip semata, sedang
pembiayaan bank syari’ah bersumber dari hukum positip dan hukum
syari’ah. Dengan demikian hukum positip yang berlaku untuk bank konvensional
tetap berlaku di bank syari’ah,
disamping perlu diperhatikan hukum syri’ah yang merupakan dasar dari
transaksi perbankan syari’ah.
2.
Bentuk, struktur dan isi perjanjian kredit
bank konvensianal berbeda dengan perjanjian pembiayaan bank syari’ah. Oleh
karena itu pihak-pihak yang terkait: notaris, konsultan ataupun
hakim-hakim/arbiter yang akan mengadili sengketa yang timbul di bank syari’ah
/dalam akad yang dilakukan di bank syri’ah harus juga memahami klausula-klasula
sistem syari’ah.
3.
Wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan
bank syari’ah dapat lebih luas karena penyalahgunaan tujuan pembiayaan sudah
dinilai sebagai pelanggaran.
4.
Penyelesaian pembiayaan atas bank
syari’ah berbeda dengan penyelesaian pembiayaan atas bank konvensional.
Dartar
Pustaka
1. Prof. Dr. Wiryono
Prodjodikoro, SH., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
2000.
2. Dr. Muhammad Firdaus, dkk, Konsep dan Implementasi Bank Syari”ah,
Renaisan, Jakarta,
2005.
3. Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2005.
4. Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, SH, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
5. Dr. Rifyak Ka’bah, Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah sebagai Kewenangan Baru PA, Varia Peradilan Tahun
ke XXI No. 245 April 2006.
6. Undang-Undang Nomor 03 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.07 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
7. Makalah-Makalah Sosialisasi
Undang-Undang No.03 Tahun 2006 di Ternate oleh Hakim Agung (DR. H. Abdul Manan,
SH, SIP, M. Hum dan Drs. H. Habiburrahman, M. Hum ), Bank Indonesia Ternate dan
Bank Muamalat Cabang Ternate.
Posting Komentar untuk "PERBANDINGAN APLIKASI PERJANJIAN KREDIT BANK KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN BANK SYARI’AH"