MEMAKNAI BENCANA SEBAGAI RAHMAT
A. Pendahulua
Kita telah maklum bahwa pada hari Sabtu, 4 Desember
2021 telah terjadi erupsi gunung Semeru
yang dahsyat dan ternyata menelan banyak korban jiwa dan harta benda serta kerusakan fasilitas lainnya, termasuk putusnya
jembatan Gladakperak yang menghubungkan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang.
Juga telah terjadi bencana banjir bandang di NTB dan bencana lainnya.
Pasca erupsi Semeru atau bencana yang lain banyak ulama, ustad, mubaligh dsb. yang
mengeluarkan pernyataan melalui televisi,
medsos atau media lain bahkan melalui
mimbar Jumat/ceramah agama bahwa terjadinya berbagai bencana disebabkan masyarakat sekitarnya telah banyak
berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt.
Benarkah bencana alam disebabkan dosa manusia penghuni tempat tersebut?
Jika benar, mengapa bukan orang Yahudi yang dholim dan menentang hukum Allah
swt yang padanya ditimpakan bencana dahsyat?
Kasihan masyarakat yang terdampak bencana, sudah ditimpa bencana masih mendapat stigma
banyak melakukan dosa dan maksiat. Penulis mencoba mengangkat topik bencana dari sudut pandang dan pemaknaan bencana sebagai rahmatan lil alamin.
B.
Definisi
Bencana
Dalam Pasal 1
ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, bencana
(disaster ) diartikan peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami jika gempa,
tsunami, gunung meletus dll. tidak mengancam kehidupan dan tidak
menimbulkan kurban, baik harta maupun
jiwa tidak bisa disebut bencana. Misal, gempa dengan magnitudo rendah atau tsunami di kutub
selatan yang tidak berpenghuni dsb.
Pasal berikutnya menguraikan bahwa bencana dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu :
1. bencana alam (natural disaster) yaitu bencana yang disebabkan oleh faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung, meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. bencana nonalam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, dan
3. bencana sosial
yaitu yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar
komunitas asyarakat, dan teror.
Dalam perspektif al -Quran dan al Hadis terdapat
beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan bencana, di antaranya adalah:
مصيبة، بلاء، فتنة، ، عقاب، عذاب، تدمير، ،
هلك، تمزيق، ضرا
a. Kata musibah
berasal dari bahasa Arab, مصيبة, yaitu dari kata اصاب - يصيب yang
berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”. Kata اصاب ini
digunakan untuk yang baik dan yang buruk (وأصاب: جاء في الخير والشر).
Sesuai firman Allah An Nisa’ ayat 79:
مَا أصابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ
فَمِنَ الله وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ
فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِالله شَهِيدًا
Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi.
Sedangkan
menurut hadîts Nabi, yang dimaksud dengan mushîbah adalah segala
sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang yang beriman. Sebagaimana
pada hadîts beriku
روى
عكرمة أن مصباح رسول الله صلى الله عليه وسلم انطفأ ذات ليلة فقال : " إنا
لله وإنا إليه راجعون" فقيل : أمصيبة هي يا رسول الله ؟ قال : "نعم كل ما
آذى المؤمن فهو مصيبة".
“Ikrimah meriwayatkan bahwa pada suatu malam lampu
Rasul Allah Saw pernah mati, lalu beliau membaca: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya
kepada-Nyalah kami kembali). Para sahabat bertanya: “Apakah ini termasuk
musibah hai Rasulullah?” beliau menjawab, “Ya, apa saja yang menyakiti orang
mukmin disebut musibah.”
b. Kata balâ’, pada dasarnya berarti
nyata/tampak, firman Allah: يَوْمَ
تُبْلَى السَّرَائِلُ. Artinya: “Pada
hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]. Sesuatu bencana
disebut dengan balâ’, karena dengan bencana tersebut dapat menampakkan
kualitas keimanan seseorang.
Atau dengan kata lain balâ juga diartikan dengan ujian (berasal dari
kata bala- yablu) sehingga dengan adanya bencana tersebut dapat
menguji mana yang beriman dan mana yang tidak, mana yang jelek amalnya dan mana
yang baik, Sebagaimana firman-Nya:
اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ
وَالحْيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ.
Artinya:“(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya
dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk 67:2).
c. c. Kata fitnah yang
memiliki arti ujian atau bencana sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an.
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلادكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ الله عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ. [الأنفال،
8: 28]
Artinya:“Dan ketahuilah, bahwa harta kamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan sesungguhnya di sisi
Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28]
Bahkan pada QS. al-Anbiya’: 35 Allah
mempersamakan antara kata balâ’ dan fitnah. Allah
berfirman:
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاتُصِيبَنَّ
الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ لله شَدِيدُ الْعِقَابِزc
Artinya:“Dan peliharalah diri kamu dari pada siksaan
(fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya. [QS. al-Anfal (8): 25]
Selebihnya untuk kata عقاب، عذاب، تدمير،
، هلك، تمزيق، ضرا dsb adalah bermakna bencana yang ditimpakan oleh Allah swt
kepada manusia karena perbuatan manusia itu sendiri.
C.
Sebab Bencana
Ketika terjadi bencana alam, paling
tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab terjadinya
bencana, yaitu:
1.
Bencana alam itu
sunnatullah, dalam arti gejala alam atau hukum alam yang biasa terjadi.
2.
Bencana alam itu
ujian atau cobaan dari Allah swt untuk hambaNya yang disayangi.
3.
Bencana alam itu
azab dari Allah swt. karena banyak dosa yang dilakukan oleh manusia.
Masing-masing analisa memiliki argumentasi berdasarkan
nash syar’i, kecuali untuk analisa nomor satu tentu disertai dengan argumentasi
ilmiah berdasar perkembangan iptek mutakhir.
Analisa pertama, (
bencana adalah gejala alam) dari sisi ilmiah dapat dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan berada
pada posisi secara geografis, geologis, dan hidrologis sangat rawan terhadap berbagai bencana alam.
Posisi Indonesia masuk dalam pertemuan tiga lempengan bumi, yaitu Eurasia,
Pasifik, dan Indo-Australia menyebabkan posisinya labil, mudah bergeser, dan
tentu saja rawan bencana gempa bumi, tsunami dan longsor. Indonesia juga terletak di daerah sabuk api
atau yang dikenal dengan ring of fire dimana 187 gunung api berderet dari barat
ke timur.
Analisa pertama diperkuat juga dengan
dalil naqli bahwa secara keseluruhan
bumi yang ditempati manusia ini rawan
terjadi bencana karena bumi dan
gunung dapat bergerak bahkan berjalan. Hal mana dilukiskan dalam al
Quran sebagai berikut:
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا
جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ
شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
“Dan kamu lihat
gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu
bergerak sebagaimana awan bergerak. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat
dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.( QS. Al-Naml [27]: 88). Atau tanah berjalan:
ءَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit
bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba
bumi itu bergoncang?, (Almulk:16)
Analisa kedua, bahwa
bencana adalah ujian atau cobaan
kepada kaum muslimin agar semakin
kuat dan teguh keimanannya, sabar meniti kehidupan untuk masa depan yang lebih
baik. Hal mana mendapat pembenaran dari nash antara lain firman Allah:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا
أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan
dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’, sedang mereka tidak
diuji lagi?”( Al-Ankabut [29:2).
Analisa ketiga, bahwa
bencana itu ditimpakan oleh Allah swt.
kepada manusia karena dosa-dosa dan maksiat yang dilakukannya. Jika kemaksiatan
sudah merajalela dan menjadi kebanggaan
baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian
rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan, maka Allah
swt turukan adzab berupa bencana. Firman Allah swt.
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ
قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا
تَدْمِيرًا
“Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu
negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat
kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka
sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya, (Al-Isra'[17]: 16). atau firman
Allah swt:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka
disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Dengan menggunakan pisau analisa
ketiga itulah banyak pihak yang berkesimpulan bahwa gunung meletus, termasuk
Semeru, banjir bandang, gempa bumi dll disebabkan masyarakat setempat bencana telah banyak melakukankesyirikan, kemaksiatan dan dosa-dosa yang lain.
Kiranya pengalaman penulis sebagai hakim
yang sudah terbiasa melakukan
analisa perkara/kasus sebelum
menjatuhkan putusan dapat dijadikan modal untuk
menganalisa sebab bencana alam yang belakangan marak terjadi.
Menganalisa sebuah sebab bencana
terkait dengan ketiga analisa tersebut di atas tentu harus menggunakan hukum
sebab-akibat atau hukum kausalitas.
Hukum kausalitas terkait bencana dibedakan
menjadi dua, yakni kausalitas sosiologis dan kausalitas teologis. Kausalitas
sosiologis dimaksudkan jika sebab akibat bencana itu dapat dijelaskan secara
ilmiah/logis. Contoh terjadi banjir karena aktifitas ilegal loging yang masif
sehingga daerah resapan air tdk ada lagi, maka ketika hujan lebat terjadi
banjir.
Sementara kausalitas teologis tidak
bisa diilmiahkan (ghiru ma’qulil makna)
semata atas dasar keyakinan. Misal, karena banyak dosa dan maksiat yang
dilakukan manusia terjadi gempa. Hubungan maksiat dengan gempa tidak bisa
dijelaskan secara ilmiah tapi atas dasar dugaan atau keyakinan.
Ada norma agama bahwa Allah swt.
menurunkan bencana karena perbuatan manusia, kemudian di suatu tempat ada gunung
meletus/gempa dan ada dugaan di tempat itu ada maksiat. Menghubungkan peristiwa konkrit dengan nash umum dalam
kasus ini ada mising link dan satu-satunya perangkat menyambung hubungan
yang terputus adalah keyakinan.
Karena analisa yang ketiga dihasilkan atas dasar keyakinan, maka akan memberikan
maslahat jika kesimpulannya digunakan untuk instropeksi diri, memperbaiki diri
dengan banyak istighfar kepada Allah swt.
Hasil analisa ketiga tidak boleh digunakan menuding pihak lain.
Misalnya, erupsi Semeru karena orang Lumajang dan Malang banyak berbuat maksiat dan dosa, padahal yang
tahu dosa itu hanya pelakunya dan Allah swt, bukan pihak lain. Boleh jadi yang
menuding lebih banyak dosa daripada yang dituding.
Yang lebih konyol lagi jika analisa
ketiga digunakan untuk menjatuhkan pihak lain, misalnya lawan politik atau
dipolitisasi. Gempa yang terjadi di Indonesia secara bertubi-tubi karena regim
yang korup, pejabat yang banyak maksiat dan ingkar jandi dan sebaginya, oleh
karenanya regim dan pejabatnya harus diganti. Bisa runyam!
D.
Memaknai
Bencana
Sebab bencana yang sesungguhnya hanya
Allah swt. yang mengetahui karena Allah swt yang menggegam langit dan
bumi. Apapun sebab bencana sebagai mukmin
kita harus yakin bahwa yang telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa adalah bentuk
kasih sayang terhadap hamba-Nya.
Boleh jadi ujian agar orang-orang yang beriman naik kelas, menjadi hamba
yang lebih bersyukur dan bersabar. Firman
Allah dalam surat Al Baqorah ayat 155-157:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الامْوَالِ واَلانْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji`uun"
Bencana dihadirkan Allah swt untuk
menciptakan manusia yang sabar. Sabar dalam pengertian yang benar, yaitu
menerima kenyataan yang ada seraya berusaha keluar dari kenyataan yang tidak
nyaman itu dengan kerja keras, bukan sikap pasrah, menyerah tanpa upaya.
Atau dengan kata lain sabar yang
paripurna, yakni: sabar bi qolbi, meyakini dalam hati bahwa bencana adalah
takdir Allah swt yang pasti banyak hikmahnya. Lalu sabar bi lisan, senantiasa
mengucapkan kalimat istirja' dalam suasana duka dan sabar bil amal, terus
berusaha dan kerja keras untuk keluar dari penderitaan. Itulah kesabaran yang
mendapat balasan surga:
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسلامًا -الفرقان
: 75
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang
tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan
penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.
Sikap sabar menafikan upaya mencari kambing hitam atau sebab terjadinya
musibah dan tidak terjebak penyesalan berkepanjangan serta berandai-andai karena hal demikian akan menghambat bangkit
dari keterpurukan dan menambah rumitnya masalah.
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنْ أَصَابَكَ
شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda:
... Dan jika kamu ditimpa musibah maka janganlah kamu berkata: Jika aku berbuat
ini maka akan begini, tetapi katakan ketentuan Allah atas apa-apa yang ia
kehendaki. Jika kamu berkata seandainya, akan membuka pintu setan.(HR. Muslim).
Bencana juga harus dimaknai bahwa
Allah mengingatkan hambaNya agar jangan
putus asa atas sesuatu yang telah hilang
dan jangan sombong atas karuniaNya. Firmanya surat Al Hadid ayat 23:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى
مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
(Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.
Wal hasil, dengan musibah Allah
bermaksud menyadarkan manusia dari
kekhilafan dan kesalahannya, kesombongan
dan keserakahanya agar manusia kembali ke jalan Allah, bertobat kepada Allah.
Dalam wujud menata lingkungan dengan sebaik-baiknya, dengan mempertimbangkan
kondisi alam dari berbagai kemungkinan timbulnya bencana (mitigasi).
Dan yang tak kalah pentingnya
menyadarkan kita bahwa alam ini tidak abadi, harta yang kita miliki hanya
titipan Allah dan kita semua akan binasa dan dibangkitkan kembali untuk
menghadap ke hadiratNya.
Sementara bagi mukmin yang tidak
mendapat bencana, maka adanya bencana merupakan ladang amal shaleh. Berkesempatan membantu saudara yang terkena
musibah dengan upaya menyisihkan
sebagian harta, tenaga dan fikirannya
untuk meringankan beban saudaranya.
Peluang silaturahim, gotong royong
dan persaudaraan sejati terbuka lebar. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan
kesabaran mendapatkan momentumnya. Seruan Allah swt sangat tepat dilaksanakan dalam suasana
benacana. Firman Allah swt.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah:2)
Mari energi yang kita miliki
disalurkan untuk penanggulangan bencana,
baik saat tanggap darurat maupun recovery yang meliputi rehabilitasi dan
rekonstruksi agar mereka yang terdampak bangkit lagi. Namun perlu diingat bahwa
otoritas tertinggi dalam penanggulangan bencana adalah pemerintah karena
pemerintah adalah pelayan masyarakat, sementara perorangan dan NGO bergerak dan bekerja sebagai relawan
mensuport pemerintah. Ayo kerja-kerja!
Wallahu a'lam bi shawab.
E.
Kesimpulan:
Bencana adalah wujud kasih sayang Allah swt kepada
hamba-Nya.
1. Bagi yang ditimpa
bencana dan masih hidup sebagai teguran/peringatan agar bertobat, beristighfar,
mendekatkan diri kepada Allah swt.
2.
Bagi yang wafat
semoga amalnya diterima dan dosanya diampuni oleh Allah swt;
3. B agi yang tidak
tertimpa bencana sebagai lahan amal untuk membantu saudaranya yang ditimpa
benacana
4.
Tidak boleh
menuding orang lain yang ditimpa bencana karena banyak dosa.
Daftar
Pustaka
1. 1. Majelias Tartjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah;
212. Majalah Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Tahun 2018;
. 3. Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Beirut Dar al Shadir, T.th;
4. 4. Al
Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al Maraghi, Mesir Tahan 1946;
5. 5. Undang_undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
6. 6. Program Al Qur"an, Maktabah Syamilah
Posting Komentar untuk " MEMAKNAI BENCANA SEBAGAI RAHMAT"