Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KORELASI ANTARA ALASAN DAN FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN

 

Kantor Pengadilan Agama Trenggalek

A.     Misi Pengadilan Agama

azahri.com ~ Semua problem kehidupan pasti ada sebab dan akibatnya (hukum kausalitas). Sebab bisa dihindari atau dihilangkan  bila kita punya ilmu dan pengalaman yang cukup di bidangnya.  Demikiian pula akibat, bisa dihindari dan diminimalisir dengan berbagai metode, di antaranya dengan manajemen resiko.

Hukum sebab- akibat juga berlaku dalam memecahkan problem rumah tangga. Jika terjadi kemelut rumah tangga yang tak kunjung padam, sehari-hari cekcok dan bertengkar, sudah tidak ada kedamaian,  maka untuk mengakhirinya harus digali apa saja sebabnya.

Yang harus dicari adalah  sebab riil atau fakta kejadian, bukan asumsi, persepsi apalagi praduga. Bilamana sebab kemelut rumah tangga telah ditemukan, maka alternatif jalan keluar  bisa ditentukan dengan memilih akibat yang paling ringan.

Jika problem rumah  tangga itu diajukan ke pengadilan untuk diselesaikan secara yuridis formal, maka hasil akhir penyelesaiannya ada dua alternatif: kembali rukun dengan baik-baik atau pisah denga baik-baik.

Kembali rukun  sering terjadi bila masing-masing pihak menyadari kekeliruannya, lalu saling memaafkan dan berjanji  memperbaiki diri demi keutuhan rumah tangga di masa depan. Cerai dengan baik-baik, indikatornya tidak ada  kemarahan, apalagi dedam antara kedua belah pihak , semua hak dan kewajiban telah terselesaikan dengan tuntas.

 Dua alternatif penyelesaian itulah sesungguhnya misi Peradilan Agama, yakni misi pelayanan. Mungkin berbeda dengan misi kelembagaan yang dirumuskan di Renstra, Sakip dan sejenisnya. Kalau pengadilan mengabulkan gugatan cerai, namun menyisakan permusuhan dan hak kewajiban yang belum tuntas, maka pengadilan belum berhasil mengemban misinya. Demikian pula bila  pengadilan menolak  perkara, namun faktanya mereka tidak Kembali harmonis.

Dalam mengemban misinya  ini , maka  Pengadilan Agama harus:

  1. Berusaha maksimal mendamaikan kedua beleh pihak, baik langsung maupun melalui mediasi;
  2. Bila usaha damai tidak berhasil dan perceraian merupakan jalan keluar yang harus ditempuh, maka pengadilan mengupayakan bercerai dengan baik-baik, tidak ada permusuhan dan hak kewajiban suami istri diselesaikan secara tuntas.

Landasan filosofis dua misi pengadilan tersebut adalah  sabda Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah:

عَÙ†ِ ابْÙ†ِ عُÙ…َرَ عَÙ†ِ النَّبِÙ‰ِّ - صلى الله عليه وسلم - Ù‚َالَ: Ø£َبْغَضُ الْØ­َلاَÙ„ِ Ø¥ِÙ„َÙ‰ اللهِ تَعَالَÙ‰ الطَّلاَÙ‚ُ.

perbuatan halal yang dibenci Allah ta’ala adalah talak”.

Dari teks hadis tersebut para ulama membuat rumusan hukum bahwa   Islam membolehkan pintu perceraian. Namun  pintu dimaksud adalah pintu emergency (darurat), yaitu pintu yang dapat dilalui bila pintu-pintu yang lain tak mungkin dilewati.

Dari landasan filosofis dirumuskan  landasan yuridis (turunan) sebagaimana dirumuskan Pasal 39 Undang Undang  No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1.            Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2.         Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Rumusan pasal di atas  dikenal dengan prinsip mempersulit perceraian. Sulit karena untuk bercerai harus di depan sidang pengadilan, termasuk cerai talak yang merupakan hak prerogatif suami dan harus cukup alasan.

B.         Korelasi antara alasan dan Faktor Penyebab

Selanjutnya alasan apa saja yang dapat dijadikan dalil untuk bercerai telah pula dirumuskan, yakni pada Pasal 19  PP No. 9 Tahun 1975  tentang Perkawinan merumuskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6.  Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di tambah huruf g dan h, yakni: g. Suami melanggar taklik talak; h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Sebuah alasan yang disodorkan di depan persidangan pengadilan tentu harus memuat  penjelasan mengapa alasan itu yang dipilih. Atau mengapa peristiwa yang dijadikan alasan itu bisa terjadi. Dengan demikian menjadi  keharusan menggali  latar belakang timbulnya peristiwa yang djadikan alasan perceraian tersebut. Maka kemudian dikenal apa yang disebut “Faktor Penyebab Perceraian.” Atau boleh disebut faktor penyebab timbulnya alasan perceraian. (pendekatan teknis).

Faktor penyebab perceraian tentu sangat beragam, tergantung alasan yang dijadikan dasar peceraian itu sendiri. Misalnya alasan pada huruf a. harus pula dijelaskan, apa sebab melakukan zina, sebab jadi pemabuk, pemadat (narkoba) dll.

Ada semacam pemahaman umum bahwa yang mesti digali faktor penyebabnya hanya pasal 19 huruf f ( perselisihan dan pertengkaran terus menerus). Hal demikian  tentu padangan yang lemah, yang benar semua alasan perceraian harus digali faktor penyebabnya.

Faktor penyebab yang sering dikemukakan antara lain: krisis akhlak, cemburu, perkawinan bermasalah, ekonomi, krisis tanggungjawab, ganguan pihak ketiga dan ketidak hormonisan. Penjelasan sbb:

  1. Krisis akhlak; suami/istri berbuat yang bertentangan dengan norma agama, adat, etika dsb. Bentuknya: suka mabuk, judi, nonton flim porno,  tidak mengindahkan tata krama dalam pergaulan rumah tangga (berani kepada mertua, pergi tanpa pamit dsb).
  2. Cemburu; suami/istri berprasangka negatif terhadap lawan jenis bila bergaul dengan orang lain meskipun pergaulan itu wajar. Bentuknya: pergaulan bebas, faktor umur jauh beda, ganguan jiwa dsb.
  3. Kawin Bermasalah; kawin karena terpaksa atau dipaksa. Bentuknya: Kawin atas pilihan ortu, terlanjur hamil, kena tipu dsb.
  4. Ekonomi; Penghasilan suami yang minim atau istri yang boros. Bentuknya: tuntutan istri di luar kemampuan suami, suami tidak bekerja atau suami yang tidak jujur dalam hal penghasilan
  5. Krisis  tanggungjawab; suami sebagai kepala keluarga tidak menjalankan kewajibannya atau istri tidak menjankan peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Bentuknya: tidak menafkahi istri atau pergi begitu saja tidak ada kabar beritanya, istri sibuk di lura rumah sebagai wanita karier dsb. 
  6. Gangguan pihak; pengaruh pihak lain dalam keluarga yang menyebabkan  perselisiahn yang berkepanjangan. Bentuknya: campur tangan orang tua (adat Madura), pergaulan bebas baik  langsung maupun lewat media SMS/internet, yang berkhir selingkuh dengan WIL/PIL dsb
  7. Ketidak-harmonisan; tidak ada keserasian dan kecocokan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bentuknya: tidak krasan di rumah istri, servis istri yang kurang memuaskan suami, suami yang egois, istri yang cerewet dsb.

Karena faktor penyebab itu beragam, maka bisa ditambah, antara lain: murtad (pindah agama), politik, poligami dll.

Faktor penyebab sebagaimana diuraikan di atas adalah dalam bingkai pendekatan yuridis atau teknis. Namun bila ditarik ke atas, dalam tataran epistimologis, berdasarkan  kasus-kasus yang masuk ke pengadilan di berbagai daerah yang memiliki latar belakang suku, ras dan adat istiadat serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang berbeda dapat diambil kesimpulan  sementara  bahwa penyebab utama  pecahnya  rumah tangga muslim karena pemahaman dan penghayatan agama yang dangkal disatu sisi dihadapkan pada tantangan yang dahsyat di era milenial di sisi lain.

Gejala yang nampak di sebagian masyarakat akibat pemahaman agama yang minim dan dangkal, antara lain:  perkawinan dianggap hanya kontrak perdata biasa. Kawin cerai dianggap perkara yang lumrah, bahkan sebagai life style (gaya hidup) yang mengikuti selera dan trend era modern/milenial (zaman now)  sebagaimana yang dipertontonkan sebagian para artis sebagai idola kebanyakan orang sekarang.

Wal hasil, dapat disimpulkan bahwa alasan atau alasan-alasan dengan faktor penyebab memiliki korelasi sangat erat. Faktor penyebab merupakan penjelasan atau latar belakang dari alasan yang dijadikan dalil  perceraian. Tanpa penjelasan faktor penyebab pada sebuah alasan, maka alasan nampak kurang bermakna dan kehilangan jati dirinya.

Semua alasan dan faktor penyebab jika ditarik  sumbunya akan mengerucut pada kedangkalan pemahaman dan penghayatan agama serta minimnya implementasi nilai agama dalam kehidupan nyata. Walalhu ‘alam bi shawab.

Posting Komentar untuk "KORELASI ANTARA ALASAN DAN FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN"