Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politik Uang Dalam Timbangan Fukaha dan Hukum Positif


 

 

1.  Menurut Gus Baha’ di Fathul Mu’in di jelaskan: “Kalau ada jabatan presiden, lurah, bupati atau gubernur mau direbut orang zalim, dan orang zalim tersebut pasti menang karena membeli suara, maka orang saleh wajib membelinya. Anggap saja membeli kebenaran. Itu Namanya bukan suap. Sekarang ini orang saleh itu bodoh-bodoh, kalu ada DPR memberi uang dianggap suap, padahal kalo DPR-nya saleh dan berpotensi jabatannya dikuasai oleh orang zalim itu namanya bukan suap, tapi badzul mal atau membeli kebenaran.”

“Yang dimaksud suap itu membalikkan yang hak menjadi batil dan yang batil menjadi hak. Umpamanya saja lurah, kalau menang dia tukang oplosan, ngundang sinden, dangdutan,  tayuban, trus lurah yang dzolim beli suara Rp 20 ribu, musuhnya Ruhin yang sholih yang santri, kita tau kalau yang salih beli Rp. 30 ribu akan jadi, maka menurut Fathul Mu’in (kitab fikih) maka yang salih-salih wajib beli. Itu dianggap beli kebenaran. Jadi bukan suap. Yang disebut suap itu suatu pembiayaan yang hak jadi batil yang batil menjadi hak. Tapi kalau beli kebenaran, maka beli kebenaran itu sama dengan jihad.

 

2. Senada dengan Gus Baha yang mengutip kitab  Fathul Muin adalah pendapat Abdurrahman bin Muhammad bin Husain dalam kitab  Bughyatul Mustarsidin:

نعم، إنما يحرم على الراشي إذا تواصل بها إلى أخذ ما ليس له أو ابطال حق عليه أما لو حيل بينه وبين حقه وعلم أنه لا يصل إليه إلا ببذله لقاض سوء فلورز خاص بالمرتشي

Artinya, "Betul, haram bagi penyuap jika risywah atau suap itu untuk mengambil apa yang bukan menjadi haknya atau membatalkan perkara yang hak. Adapun upaya (hailah) supaya ia mendapatkan haknya dan ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan haknya kecuali menyerahkan harta kepada qadhi yang korup, maka dosanya khusus untuk penerima suap saja." (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain, Bughyatul Mustarsidin [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1433 H], halaman 26

 

3.  Pendapat Syekh Utsimin

وقال ابن عثيمين: الرشوة هي كل ما يتوصل به الإنسان إلى غرضه، مشتقة من الرشاء، وهو الحبل الذي يدلى به الدلو ليستقى به من البئر، وهي في الحقيقة تنقسم إلى قسمين:

رشوة يتوصل بها الإنسان إلى باطل، لدفع حق واجب عليه، أو الحصول على ما ليس له، فهذه محرمة على الآخذ، وعلى المعطي أيضًا.

Berkata Ibnu Utsimin bahwa risywah (suap) adalah sesuatu yang dapat menyampaikan manusia pada tujuannya. Berasal dari kata  Risya’, yakni tali yang dapat menghubungkan timba pada air sumur. Risywah dibagi dua, pertama, risywah sebagai sarana manusia kepada kebatilan, menolak kebenaran atau mengambil yang bukan haknya, ini haram,  baik yang menerima maupun yang memberi.

وقد جاء في الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه لعن الراشي، والمرتشي. واللعن هو الطرد، والإبعاد عن رحمة الله، وهذا يدل على أنها من كبائر الذنوب، حيث رتبت عليها هذه العقوبة العظيمة.

Berdasarkan hadis, Nabi melaknat orang yang menyuap dan menerima suap. Melaknat artinya mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah. Hadis ini menunjukkan bahwa suap merupakan dosa besar  dan pantas mendapat hukumn berat.

والقسم الثاني: رشوة يتوصل بها الإنسان إلى حقه المشروع، أو دفع باطل عنه، وهذه محرمة في حق الآخذ، وجائزة في حق المأخوذ منه؛ لأنه يريد أن يتخلص من الظلم، أو يتوصل إلى حقه، وهو غير ملوم على هذا. اهـ. من فتاوى نور على الدرب.

Kedua, risywah (suap) sebagai sarana bagi manusia untuk memperoleh haknya yang telah ditetapkan atau menolak kebatilan. Maka risywah jenis ini  haram bagi yang menerima dan boleh bagi yang memberi karena ingin menghilangkan  kedloliman atau memperoleh haknya. Ini tidak tercela.

 

4.  Menurut Mu’jam Arabi

رَشْوَةٌ، رُشْوَةٌ، رِشْوَةٌ

رَشْوَة : مالٌ أَوْ هِبَةٌ تُعطَى لِمَسْؤُولٍ لِقَضاءِ حاجَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ حَقّاً أَوْ باطِلاً يُعَاقِبُ القانونُ كُلَّ مَنْ تَلَقَّى رَشْوَةً

Suap: Uang atau hadiah yang diberikan kepada pejabat untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan, baik benar atau salah. Dan undang-undang menghukum siapa pun yang melakukan suap.
 
5.  Zakariya Al Anhari, mengutip pendapat Al Ghozali
 

فَصْلٌ (قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ) قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ أَوْ مُبَاحٍ فَإِجَارَةٌ أَوْ جَعَالَةٌ أَوْ تَوَدُّدٍ مُجَرَّدٍ أَوْ تَوَسُّلٍ بِجَاهِهِ إلَى أَغْرَاضِهِ فَهَدِيَّةٌ إنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ أَوْ الْعَمَلِ فَرِشْوَةٌ

Artinya, " (Pasal) perkataan Mushanif: "Riyswah haram" Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya'nya berkata: "Harta jika diberikan untuk tujuan mendatang (pahala akhirat) maka dinamakan sedekah. Jika diberikan untuk tujuan segera (imbalan​​​​​​ dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyartit tsawab. Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an maka dinamakan risywah. Jika untuk perkara yang mubah maka dinamakan dengan ijarah atau ja'alah. Jika pemberian harta karena murni tali kasih atau untuk berwasilah dengan derajat pangkatnya agar tercapai tujuan-tujuannya, itu dinamakan hadiah jika kedudukan dan derajatnya itu berupa ilmu atau nasab; namun jika berupa putusan hukum atau satu tindakan maka dinamakan risywah." (Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Rhaudhit Thalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz IV halaman 200). 
6.  Syekh Izuddin

قد يجوز الإعانة على المعصية لا لكونها معصية بل لكونها وسيلة إلى تحصيل المصلحة الراجحة وكذلك إذا حصل بالإعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت المفسدة   

Artinya, “Terkadang diperbolehkan menolong kemaksiatan bukan karena kemaksiatannya, namun karena ia bisa menjadi perantara untuk meraih kemaslahatan yang nyata, begitu juga jika dengan menolong kemaksiatan bisa menjadikan maslahah lebih unggul dari mafsadah.” (Syekh Izzuddin, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, [Beirut, Darul Ma’arif: Lebanon: tt], juz I, halaman 75).

7.  Politik Uang Menurut NU

Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes N.U.: 14-17 September 2012, dapat dikutip sebagai berikut: Dalam upaya menarik simpati masyarakat dan merebut suara terbanyak, [di masa pemilu] acap kali kita melihat berbagai bentuk pemberian dari para calon kepada para pemilih.

 

Para calon membagikan kepada mereka pemberian dengan dalih ongkos jalan, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja untuk datang ke lokasi pencoblosan. Bahkan para calon terkadang menggunakan momen pemilihan umum untuk memberikan kepada para pemilih zakat dan shadaqah. Pemberian dengan berbagai dalih tersebut tidak lepas dari maksud tertentu dan berpengaruh kepada pemilih dalam menentukan calon yang akan dipilihnya.

 

Pemberian kepada calon pemilih dengan alasan transport, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). pemberian zakat atau shadaqah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap).

 

8. Dalam Hukum Positif Indonesia

Politik uang sangat jelas dilarang, bahkan pelakunya dapat dibatalkan pencalonannya dan berujung kepada tindak pidana. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengenai politik uang ini diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 84 dikatakan bahwa: “Selama masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih parpol peserta pemilu tertentu; dan/atau d. memilih calon anggota DPD tertentu”.

UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden:

1)            Pasal 41 ayat (1) poin h dan j: “Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

2)            Pasal 215: “Setiap pelaksana Kampanye yang dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara  langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00(dua puluh empat juta rupiah).

B. Pembahasan  dan Analisa

   

    Dari batasan atau definisi yang dipaparkan di atas ada tiga cara pandang risywah atau suap.

 

1. Risywah atau suap berlkau umum, baik untuk mengambil haknya maupun hak orang lain, menghilangkan kedholiman atau mendatangkan kedholiman;

2. Mengambil haknya dan menghilangkan kedholiman tidak termasuk risywah/suap.

3. Risywah boleh jika bertujuan untuk mendatangkan maslahah/kebaikan.

    

Risywah dalam pendapat kedua tidak menjadi masalah jika sudah jelas itu haknya atau miliknya. Sementara risywah dalam rangka menggapai maslahah dapat dimengerti jika maslahah itu nyata, bukan asumsi. Kajian berikut risywah menurut pemehaman pertama akan dianalisa sebagai berikut:

 

1. Pendekatan Dhorurah

Bila mengikuti pendapat pertama politik uang termasuk risywah dan hukumnya haram, Hukum haram menjadi boleh bila keadaan dhorurah. Ulama ushul merumuskan  kaedah الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات, artinya “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.” . Berdasarkan firman Allah Swt:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

Ulama ushul telah membuat rumusan keadaan dhorurat antara lain:

a.   Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan, maka tidak boleh melakukan  yang haram.

b.   Tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan  larangan demi hilangnya dhoror.

c.    Haram yang dilakukan  lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.

d.   Fakta empiris  akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau asumsi.

 Politik uang yang berubah menjadi nomenklatur membeli kebenaranبذل المال , apakah sudah memenuhi empat syarat yang digariskan ulama ushul tersebut.

a.      Apakah yang mengkalim sebagai orang sholeh itu benar-benar sholeh atau hanya pencitraan. Mengklaim  dirinya orang shaleh dan lainnya tidak shaleh, tentu klaim demikian tidak bisa objektif, tergantung sudut pandang masing-masing  pihak. Memotret seseorang  secara utuh tentu amat sulit karena masing-masing  orang punya  kelebihan dan kekurangan. Dan yang tak kalah penting, apakah ada jaminan orang yang mengkalim shaleh kalau jadi pejabat tetap sholeh.

b.      Apakah tidak ada jalan lain untuk sukses kecuali dengan pollitik uang, misalnya membangun kedekatan, keteladan, menjual ide dan gagasan dll.

c.       Apakah politik uang yang dilakukan itu lebih ringan bahayanya daripada tidak dilakukan. Politik uang itu dilarang karena merusak sistem sosial dan politik. Tidak semata-mata dilihat dari kepentinga pemberi suap dan penerima suap dalam jangka pendek, tapi juga kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika politik uang dibolehkan, maka akan terjadilah  transaksional, politik dagang sapi. Siapa yg membeli dengan  harga paling tinggi dia yg menang, gilirannya pemilih tak lihat lagi shaleh atau fasik yg penting fulus. Sistem rusak. Kecurangan dibalas kecurangan.

d.      Kalau politik uang tidak dilkukan, apa benar akan ada madhorot yang lebih besar, atau itu hanya asumsi saja.

 

2. Pendekatan Legal Formal

Konteks yang disampaikan Gus Baha’ tampak jelas posisi antara yang zalim dan yang saleh sehingga pertarungannya jelas orang ahli maksiat dan ahli ibadah. Sementara dalam sistem politik Indonesia, secara hukum semua politisi yang terdaftar mengikuti kontestasi adalah orang baik, paling tidak baik secara politik, hingga terbukti secara hukum salah.

Semua kandidat pejabat publik seperti lurah, bupati, gubernur, presiden, maupun legislatif dalam kacamata hukum politik adalah orang baik karena telah mengikuti serangkaian seleksi yang cukup ketat. Untuk menjadi seorang calon presiden harus memenuhi persyaratan dalam undang-undang pemilu, sehat jasmani dan rohani, berkelakuan baik, tidak sedang menjalani hukuman yang ditetapkan oleh pengadilan. 

C. Kesimpulan

                              1.      Dari analisa kedhoruratan, politik uang dalam Sistem Pemilu Indonesia belum memenuhi empat syarat keadaan dhorurat sehingga belum menjadi halal alias tetap haram. Dengan demikian pendapat Gus Baha tentang bolehnya suap dalam Pilpres, Pilkada dan Pileg belum bisa dieksekusi karena belum memenuhi aspek kedhoruratan;

                           2.         Dari analisa legal formal,  dalam sistem Pemilu Indonesia  tidak akan dijumpai keadaan ektrim bahwa kandidat adalah orang zalim dan ahli maksiat melawan orang shaleh. Bila Capres/Cawapres terdiri dari tiga pasang ( Amin, Prabowo dan Ganjar) semua adalah orang shalaeh/baik hanya tingkat keshalehannya yang berbeda. Apalagi bila dihubungkan dengan Pileg yang calonnya setiap Dapil ada ratusan, sulit untu mgklaim si A sholeh dan si B ahli maksiat. Maka konsep badzul mal sebagaimana yang dikemukakan Gus Baha tidak relevan diterapkan dalam Pemilu Indonesia.

                           3.         Suap tidak bisa dilihat hanya sekedar jual beli kedua belah pihak, tapi memiliki dimensi yg luas. Dimensi budaya, pendidikan dan moral kolektif, Untuk mencapai masyarakat adil makmur tak mungkin jual beli hukum dan hak pilih dihalalkan hanya untuk meraih kemenangan. Kemenangan dalam konsep Islam harus ditempuh dengan akhlak karimah agar berkah.

 

Posting Komentar untuk "Politik Uang Dalam Timbangan Fukaha dan Hukum Positif "