Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

AKAD NIKAH SAH IJAB TANPA KABUL


           azahri.com ~ Sudah mafhum bahwa rukun nikah ada empat: dua mempelai (laki dan perempuan), wali, dua orang saksi dan ijab kabul.  Akad nikah itu suatu rangkaian/prosesi  ijab dan kabul. Ijab adalah sebuah pernyaataan wali menikahkan perempuan yang dibawah perwaliannnya dengan  mempelai laki-laki. Kabul adalah ungkapan penerimaan dari mempelai laki-laki atas ijab dari wali.

            Setidaknya ada empat subjek hukum  yang seharusnya terlibat pada prosesi ijab kabul, yakni: mempelai laki-laki, wali dan dua  dua orang saksi. Keempat subjek hukum  itu  ada yang dapat dirangkap oleh satu orang, yakni wali dan mempelai laki-laki. Mempelai laki-laki dimungkinkan merangkap sebagai wali nikah karena dia sebagai wali nasab dari perempuan yang akan dinikahi yang paling dekat diantara para wali yang ada.

Urutan wali nasab dalam fikih Syafii yang telah di legalkan dalam peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, Paragraf 2, bab Wali Nikah, Pasal 12:

(1) Wali nikah terdiri atas wali nasab dan wali hakim.
(2) Syarat wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. laki-laki; b. beragama Islam; c. baligh; d. berakal; dan e. adil.
(3) Wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki urutan:
      1.            bapak kandung;
      2.            kakek (bapak dari bapak); 
      3.            bapak dari kakek (buyut);
      4.            saudara laki-laki sebapak seibu;
      5.            saudara laki-laki sebapak;
      6.            anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seibu;
      7.            anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
      8.            paman (saudara laki-laki bapak sebapak seibu);
      9.            paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak);
  10.            anak paman sebapak seibu;
  11.            anak paman sebapak;
  12.            Dst sampai angka 17.
 

Ketika anak paman kandung atau anak paman seayah dari seorang perempuan (saudara sepupu)  adalah khotibnya (pelamarnya), sementara wali nasab sebagaimana urutan tersebut di atas paling dekat adalah dia, maka dalam hal demikian dikatakan mempelai laki-laki sekaligus sebagai wali.

            Bagaimana sighot ijab kabulnya, jika dilakukan sendiri atau dikuasakan kepada seseorang, misalnya kepada Pegawai Pencatat Nikah atau Kiai ?  

            Pendapat pertama, menurut Ibu Qudamah- semoga Allah Swt merahmatinya:

وفي هذه الحال له أن يتولى عقد النكاح عن نفسه وعن المرأة لأنه وليها ، فيقول : قد تزوجتك، أو زوجت نفسي فلانة ، ونحو ذلك من العبارات ، ولا يحتاج أن يقول : قبلت ، لأن إيجابه يتضمن القبول ، ولا تحتاج هي أيضا أن تقول : قبلت ، لأن المرأة لا تتولى عقد النكاح لا لنفسها ولا لغيرها ، وإنما يعقد لها وليها

وله أن يوكل رجلاً يتولى إنكاحها له نيابة عنه ، سواء كان هذا الوكيل المأذون أم غيره .وحينئذ يقول وكيله : زوجتك فلانة ، ويقول هو : قبلت . وبهذا ينعقد النكاح ، وهذان الأمران قد ورد فعلهما عن الصحابة رضي الله عنهم-  المغني ( 7/360(

            Dalam keadaan demikian, dia (wali sekaligus mempelai) mempunyai hak untuk melangsungkan akad nikah atas nama dirinya dengan wanita tersebut karena dialah walinya. Dia berkata: Aku menikahimu, atau “Aku telah menikahkan diriku sendiri dengan si fulanah, dan ungkapan-ungkapan yang serupa. Dia tidak perlu mengatakan: “Aku menerima, karena ijab dan kabul terkumpul pada satu person. Dia  tidak perlu mengatakan: “Aku  menerima”, karena wanita itu tidak melakukan akad nikah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, melainkan untuk walinya yang melaksanakan akad nikah untuknya.

            Dia boleh menunjuk seorang laki-laki untuk menikahkannya dengannya atas namanya, baik itu wakil yang sah atau orang lain. Kemudian wakilnya berkata: “Aku nikahkan kamu dengan fulanah”, dan dia menjawab: “Aku  menerima. Demikianlah perkawinan itu selesai, dan kedua perkara itu diriwayatkan dari para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka.

               Pendapat kedua, menurut Imam Bukhori – semoga Allah Swt merahmati:

بَاب إِذَا كَانَ الْوَلِيُّ هُوَ الْخَاطِبَ . وَخَطَبَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ امْرَأَةً هُوَ أَوْلَى النَّاسِ بِهَا ، فَأَمَرَ رَجُلًا فَزَوَّجَهُ .

وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ لِأُمِّ حَكِيمٍ بِنْتِ قَارِظٍ : أَتَجْعَلِينَ أَمْرَكِ إِلَيَّ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . فَقَالَ : قَدْ زَوَّجْتُكِ .

وَقَالَ عَطَاءٌ : لِيُشْهِدْ أَنِّي قَدْ نَكَحْتُكِ ، أَوْ لِيَأْمُرْ رَجُلًا مِنْ عَشِيرَتِهَا" انتهى

وصحح الألباني أثر المغيرة بن شعبة ، وعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنهما في " إرواء الغليل " (1854) ، 

         Bab: Jika wali adalah pelamar. Al-Mughirah ibn Shu'bah melamar seorang wanita yang paling pantas baginya, maka ia memerintahkan seorang pria untuk menikah dengannya. Abd al-Rahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qariz: Maukah kamu menyerahkan urusanmu padaku? Dia berkata “Ya.” Dia berkata: “Aku telah menikah denganmu”. Ata’ berkata: Untuk menjadi saksi bahwa aku telah menikahimu, atau untuk menunjuk seorang laki-laki dari marganya sebagai wali. Selesa

         Al-Albani menshohehkan hadits Al-Mughirah bin Shu'bah dan Abd al-Rahman bin Auf Radhiyallahu 'anhu dalam "Irwa' al-Ghaleel" (1854).  

               Dari dua kutipan pendapat tersebut bahwa mempelai laki-laki sekaligus sebagai wali telah terjadi pada zaman sahabat. Maka pernikahan yang demikian adalah sah dan sighot akad nikahnya bila  dilakukan sendiri hanya  ijab tanpa  kabul.  Tentu kalimat ijab lebih sempurna jika ditambah pernyataan besar mahar yang diberikan kepada mempelai perempuan. Misal,  " Aku nikahi kamu dengan mahar sepuluh juta rupiah." Walahu ‘alam bishawab.

 

 

1 komentar untuk "AKAD NIKAH SAH IJAB TANPA KABUL "