Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TAWASUL YANG DISEPAKATI DAN DIPERSELISIHKAN

azahri.com

1. PENGERTIAN

            Secara bahasa, kata tawassul diambil dari bahasa Arab tawassala-yatawassalu-tawassulan (توسل- يتوسل- توسلا  )  mendekat dengan menggunakan wasilah. Sedangkan makna wasilah (وَسِيلَةُ )  itu sendiri adalah media perantara untuk mencapai tujuan.  Kata (توسل) tawasul mirip maknanya dengan (توصل) tawashul, yakni sesuatu yang menyambung sesuatu dengan yang lain.

Sementara wasilah dalam tafsir Ibnu Katsir mempunyai 2 (dua) arti, yakni:

وَالْوَسِيلَةُ: هِيَ الَّتِي يُتَوَسلُ  بِهَا إِلَى تَحْصِيلِ الْمَقْصُودِ.

Pertama, wasilah adalah sesuatu yang dijadikan perantara atau media untuk mencapai suatu  maksud.

وَالْوَسِيلَةُ أَيْضًا: عَلَمٌ عَلَى أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ مَنْزِلَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَارُهُ فِي الْجَنَّةِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ. "

Kedua, nama tempat yang tinggi di surga, yakni tempat atau rumah Rasulullah Saw di surga. Sebagaimana hadits Al Bukhari dari sahabat Jabir bin Abdullah, Rasul Swa. bersabda: Barang siapa mendengar azan hendaklah membaca: “Ya Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan. Berilah kedudukan tinggi dan keutamaan  kepada Nabi Muhammad. Dan bangkitkanlah beliau di kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.”

Adapun tawasul yang dimaksud dalam kajian ini  adalah  mendekatkan diri kepada Allah swt dalam bentuk doa atau ibadah lainnya, dengan menggunakan perantara, seperti nama-nama Allah yang mulia (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat-Nya, iman dan takwa, amal shaleh, atau melalui doa orang shaleh yang masih hidup.

2. TAWASUL DALAM AL QUR'AN:

            Beberapa ayat Al Qur’an yang diambil hujjah oleh para ulama berkaitan dengan tawasul, baik  secara ekplisit maupun implisit antara lain :

a. Perintah kepada orang beriman untuk bertawasul.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapatkeberuntungan.”  [Al-Maaidah/5: 35]

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Artinya: Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ( Al-Isra: 57)

b. Bertawasul dengan minta doa kepada orang shaleh yang masih hidup

قَالُوا۟ يَٰٓأَبَانَا ٱسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَآ إِنَّا كُنَّا خَٰطِـِٔينَ

Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“.(QS. Yusuf: 97).

c. Bertawasul dengan amal sholeh (infak)

وَمِنَ ٱلْأَعْرَابِ مَن يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنفِقُ قُرُبَٰتٍ عِندَ ٱللَّهِ وَصَلَوَٰتِ ٱلرَّسُولِ ۚ أَلَآ إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَّهُمْ ۚ سَيُدْخِلُهُمُ ٱللَّهُ فِى رَحْمَتِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akanmemasukan mereka kedalam rahmat (surga)Nya;Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah: 99)

d. Bertawasul dengan asmaul husna (nama Allah yang indah)

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

 Dan Allah memiliki Asma'ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma'ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(QS Al-A’raf [(7]: 180)

e. Bertawasul dengan iman

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ إِنَّنَآ ءَامَنَّا فَٱغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," (Ali Imran : 16)

 

f. Bertawasul dengan kelemahan diri dan dosa yang telah dilakukan

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”(QS Al-Anbiya’[21]: 83)

قَالَ رَبِّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى فَٱغْفِرْ لِى فَغَفَرَ لَهُۥٓ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (QS Al-Qashash [28]: 16)

g. Bertawasul dengan  benda (berhala) melalui ritual kepada wasilahnya.

أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (Az Zumar ayat 3)

3. TAWASUL DALAM HADITS

a. Tawasul Kepada Paman Nabi Saw. (Abbas) Karena Nabi Telah Wafat

 حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ

 “Diriwayatkan dari Anas bin Malik sesungguhnya Umar bin Khatthab radliyallahu ‘anh ketika masyarakat tertimpa paceklik, dia meminta hujan kepada Allah dengan wasilah Abbas bin Abdul Mutthalib, dia berdoa ‘Ya Allah! Dulu kami bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi kami, lalu kami diberi hujan. Kini kami bertawasul kepadamu dengan perantara paman Nabi kami, berikanlah kami hujan”. Perawi Hadits mengatakan “Mereka pun diberi hujan.” (HR Bukhari)

b. Tawasul dengan amal shalih (Kisah Tiga Orang Yang Terjebak Dalam Gua)

 عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ انْطَلَقَ ثَلاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنْ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لا يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلا أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَكُنْتُ لا أَغْبِقُ – شُرْب الْعَشِيّ – قَبْلَهُمَا أَهْلا وَلا مَالا فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلا أَوْ مَالا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا ُ [َ فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ – الصِّيَاح بِبُكَاء بسبب الجوع – عِنْدَ رِجْلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمَا حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ ] حَتَّى بَرَقَ الْفَجْر فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوج

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang dari umat sebelum kalian melakukan perjalanan, lalu mereka masuk ke dalam goa untuk berteduh di sana. Tiba-tiba ada batu besar yang runtuh dari atas gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata, “Kalian tidak dapat selamat dari batu ini kecuali kalian berdoa dengan perantara amal-amal salih kalian.”

Lalu salah seorang dari mereka berdoa, “Ya Allah, dahulu saya memiliki kedua orang tua yang sudah renta. Saya tidak memberi minuman di  malam hari untuk keluarga saya atau hewan ternak saya, sebelum saya memberi  minuman untuk keduanya. Suatu saat saya ada keperluan hingga pulang larut dan belum sempat saya beri minum. Maka saya buatkan minuman untuk mereka, namun ternyata saya dapatkan mereka telah tertidur. Saya tidak ingin memberikan minum kepada keluarga dan hewan ternak saya sebelum saya memberikan minum untuk keduanya, maka saya tunggu mereka bangun dari tidur sambil memegangi wadah minuman tersebut. Saya pun tidak ingin membangunkan keduanya, sementara anak-anak saya menangis-nangis kelaparan dan memegangi kaki saya. Begitu seterusnya hingga terbit fajar. Kemudian terbit fajar, lalu aku membangunkan keduanya dan memberinya minum

Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap wajah-Mu, lepaskanlah kami dari batu ini.” Lalu batu itu bergeser sedikit, namun mereka belum dapat keluar darinya.

 قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ [ كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأَةً مِنْ بَنَاتِ عَمِّي كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ ] فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنْ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِي [ فَقَالَتْ لا تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا حَتَّى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِينَارٍ فَسَعَيْتُ فِيهَا حَتَّى جَمَعْتُهَا ] فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلا بِحَقِّهِ [قَالَتْ اتَّقِ اللَّهَ وَلا تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلا بِحَقِّهِ ] فَتَحَرَّجْتُ مِنْ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا [ فَقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا] وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ [فَفَرَجَ عَنْهُمْ الثُّلُثَيْنِ ]  غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Yang lain berkata, ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang sangat aku cintai, lalu aku ingin berbuat zina dengannya, namun dia menolaknya. Hingga suatu saat terjadi musim paceklik. Maka dia datang (untuk meminta bantuan), maka aku memberikannya 120 dinar dengan syarat dia menyerahkan dirinya kepadaku. Maka dia bersedia. Hingga ketika aku dapat melakukan apa yang aku inginkan terhadapnya, dia berkata, ‘bertakwalah kepada Allah, cincin tidak boleh dilepas kecuali oleh orang yang berhak.”Maka akupun takut melakukan perbuatan itu, lalu aku tinggalkan dia padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku tinggalkan pula emas yang telah aku berikan kepadanya. “Ya Allah, jika aku melakukan hal tersebut semata untuk mengharap wajah-Mu, maka bebaskan aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergeser dua pertiganya, namun mereka masih telah belum dapat keluar.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ( أَيْ : ثَمَنه) غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ .

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku menyewa beberapa orang pekerja, lalu aku berikan upah mereka masing-masing kecuali satu orang yang meninggalkannya begitu saja. Maka upahnya tersebut aku investasikan hingga berkembang. Lalu (sekian lama kemudian) orang itu datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai fulan, berikan upahku.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Semua yang engkau lihat berupa onta, sapi, kambing dan budak adalah upahmu.” Maka orang itu berkata, ‘Wahai Abdullah, jangan meledek aku,’ Aku berkata, ‘Sungguh aku tidak meledekmu.” Lalu orang itu mengambil semua haknya tanpa menyisakan sedikitpun. “Ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap wajah-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergerak sehingga akhirnya mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut.

4. TAWASUL MENURUT PARA ULAMA

a. Ibnu Taimiyah:

    Berikut redaksi dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 1/140:

أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ . فَهُوَ مَشْرُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَتَوَسَّلُونَ بِهِ فِي حَيَاتِهِ وَتَوَسَّلُوا بَعْدَ مَوْتِهِ بِالْعَبَّاسِ عَمِّهِ كَمَا كَانُوا يَتَوَسَّلُونَ بِهِ . وَأَمَّا قَوْلُ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَسَّلُ إلَيْك بِهِ . فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ قَوْلَانِ : كَمَا لَهُمْ فِي الْحَلِفِ بِهِ قَوْلَانِ : وَجُمْهُورُ الْأَئِمَّةِ كَمَالِكِ ؛ وَالشَّافِعِيِّ ؛ وَأَبِي حَنِيفَةَ : عَلَى أَنَّهُ لَا يَسُوغُ الْحَلِفُ بِغَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَلَا تَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِذَلِكَ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَهَذَا إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ ، وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى تَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِهِ خَاصَّةً دُونَ غَيْرِهِ ؛ وَلِذَلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسِكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ للمروذي صَاحِبِهِ : إنَّهُ يُتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ

Artinya: “Adapun tawasul dengan iman pada Nabi, cinta dan taat kepada beliau; dengan doa dan syafa’at beliau dan yang semisalnya dari hal-hal yang merupakan perbuatan beliau dan perbuatan hamba yang diperintahkan maka umat islam sepakat bahwa tawasul ini disyariatkan.

Dulu para sahabat bertawasul dengan nabi saat beliau masih hidup dan setelah beliau wafat maka mereka bertawasul dengan Abbas; paman Nabi sebagaimana mereka bertawasul dengan Nabi.

Adapun ucapan orang : اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَسَّلُ إلَيْك بِهِ (Ya Alloh sesungguhnya aku bertawasul kepada Mu dengan perantara Nabi), maka dalam hal ini ulama memiliki dua pendapat sebagaimana dalam masalah bersumpah dengan nabi.

Jumhur para imam seperti Imam Malik, Syafi’i dan abu Hanifah mengatakan bahwa sumpah tidak boleh dengan selain dengan Nama Alloh seperti nabi, malaikat. Dan sumpah dengan nama-nama itu tidaklah sah. Pendapat ini adalah salah satu dari dua riwayat imam Ahmad.

Riwayat lain dari Imam Ahmad mengatakan bahwa sumpah dengan nabi sah secara husus tidak dengan selain nama nabi muhammad. Karenanya Imam Ahmad berkata kepada sahabatnya; Mawardzi, bahwasanya beliau bertawasul dengan nabi di dalam doanya. (Majmu’ Fatawa 1/140)

b. Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab At-Tamimi Al-Hanbali Rahimahullah

إنه مكروه، فلا ننكر على من فعله؛ ولا إنكار في مسائل الاجتهاد، لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره، يطلب فيه تفريج الكربات، وإغاثة اللهفات، وإعطاء الرغبات

Bahwasannya (tawasul dengan Nabi maupun orang-orang saleh) hukum makruh, akan tetapi kami tidak mengingkari (menentang) terhadap orang yang mengamalkannya. Tidak boleh ada pengingkaran (penentangan) dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Akan tetapi pengingkaran (penentangan) kami adalah terhadap orang yang berdo'a (memohon) kepada makhluk lebih besar daripada do'anya kepada Allah, yang bermaksud merendahkan diri ke kuburan. Semisal ke kuburan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan selainnya. Di sana memohon pertolongan agar dihilangkan kesulitan-kesulitannya, memohon bantuan dalam kesedihan-kesedihannya, dan memohon pemberian terhadap keinginan-keinginannya.

c.  Tawasul Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki:

أولا: أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك

Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah satu pintu tawajuh kepada Allah SWT. Tujuan hakikinya itu adalah Allah. Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,”

ثانيا: أن المتوسِّل ما توسل بهذه الواسطة إلا لمحبته لها واعتقاده أن الله سبحانه وتعالى يحبه، ولو ظهر خلاف ذلك لكان أبعد الناس عنها وأشد الناس كراهة لها

Kedua, orang yang bertawasul takkan menyertakan wasilahnya dalam doa kecuali karena rasa cintanya kepada wasilah tersebut dan karena keyakinannya bahwa Allah juga mencintainya. Kalau yang muncul berlainan dengan pengertian ini, niscaya ia adalah orang yang paling jauh dan paling benci dengan wasilahnya.”

 ثالثا: أن المتوسِّل لو اعتقد أن من توسل به إلى الله ينفع ويضر بنفسه مثل الله أو دونه فقد أشرك

Ketiga, ketika meyakini bahwa orang yang dijadikan wasilah kepada Allah dapat mendatangkan mashalat dan mafsadat dengan sendirinya setara atau lebih rendah sedikit dari Allah, maka orang yang bertawasul jatuh dalam kemusyrikan.”

رابعا: أن التوسل ليس أمرا لازما أو ضروريا وليست الإجابة متوقفة عليه، بل الأصل دعاء الله تعالى مطلقا كما قال تعالى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ و كما قال تعالى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

Keempat, praktek tawasul bukan sesuatu yang mengikat dan bersifat memaksa. Ijabah doa tidak bergantung pada tawasul, tetapi pada prinsipnya mutlak sekadar permohonan kepada Allah sebagai firman-Nya, ‘Jika hamba-Ku bertanya tentang-Ku kepadamu (hai Muhammad), sungguh Aku sangat dekat,’ atau ayat lainnya, ‘Katakanlah hai Muhammad, ‘Serulah Allah atau serulah Yang Maha Penyayang. Panggilan mana saja yang kalian gunakan itu, sungguh Allah memiliki nama-nama yang bagus,".

d. Muhammadiyah.

Muhammadiyah tidak secara khusus membahas masalah tawasul dalam HPT. Dalam HPT hanya terdapat tuntunan cara berdoa, dan tuntunan ziarah kubur yang bisa dijadikan rujukan, bagaimana Muhammadiyah menolak berdoa dengan menggunakan wasilah orang sholih yang sudah meninggal.

 

e. Menurut Buku Wahabi Menuduh, NU Menjawab:

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

 

F. Doa Atau Shalawat Yang Bernuansa Tawasul

 

Shalawat Badar

توسَـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ

وَ كُــلِّ مُجَـا هِـدِ لِلّهِ بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Kami berwasilah dengan berkah basmalah, dan dengan Nabi yang menunaikan lagi utusan Allah.
Dan seluruh orang yang berjuang karena Allah, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Shalawat Munjiyat (Penyelamat):

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَالْاٰفَاتِ وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيعَ الْحَاجَاتِ وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَيِّئَاتِ وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِّغُنَا بِهَـــا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَـــاتِ

 “Ya Allah limpahkanlah rahmat kepda junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan shalawat itu, Engkau akan menyelamatkan kami dari semua keadaan yang menakutkan dan dari semua cobaan; dengan shalawat itu, Engkau akan mengabulkan hajat kami; dengan shalawat itu, Engkau akan menyucikan kami dari segala keburukan; dengan shalawat itu, Engkau akan mengangkat kami ke derajat paling tinggi; dengan shalawat itu pula, Engkau akan menyampaikan kami kepada tujuan yang paling sempurna dalam semua kebaikan, ketika hidup dan setelah mati.”

Potongan Shalawat Burdah

يَارَبِّ بِالْمُطَفَى بَلِّغْ مَقَا صِدَنَا

“Wahai Tuhanku, berkat al-Musthofa (Rasulullah), sampaikanlah tujuan kami.

وَاغْفِرْلَنَا مَامَضَى يَاوَاسِعَ الْكَرَم

“Dan ampuni kami dari apa apa yang telah lalu, wahai yang Maha luas Kemurahan Nya.”

6. Kesimpulan

Dari paparan tersebut di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa para ulama sepakat mengenai tawassul dalam arti berdoa memohon kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya melalui perantara adalah suatu hal yang disyariatkan. Adapun yang menjadi perbedaan di antara mereka adalah mengenai hal yang dijadikan wasilah (perantara/media) dan cara melakukannnya.

Setidaknya hukum tawasul dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) Tawassul yang disepakati masyru’ (disyariatkan), (2) Tawassul yang disepakati haram, dan (3) Tawassul yang diperselisihkan (mukhtalaf fihi).

a. Tawassul Masyru’ Yang Disepakati

1) Tawassul dengan al-Asma’ al-Husna. Para ulama sepakat dibolehkan dalam berdoa untuk menjadikan nama-nama Allah swt yang mulia sebagai sarana atau wasilah agar dikabulkannya doa tersebut.

2) Tawassul Dengan Keimanan/Ketakwaan. Para ulama juga sepakat dibolehkan dalam berdoa untuk menjadikan iman/takwa kepada Allah swt, sebagai sarana atau wasilah agar dikabulkannya doa tersebut.

3) Tawassul Dengan Amal Shalih.  Para ulama juga sepakat  dibolehkan  dalam berdoa untuk menjadikan amal shaleh sebagai sarana atau wasilah agar dikabulkannya doa tersebut.

4) Tawassul Dengan Doa Orang Yang Hidup. Para ulama sepakat dibolehkan dalam melakukan permohonan kepada Allah dengan meminta orang lain yang masih hidup untuk erdoa

baginya kepada Allah swt

 

b. Tawassul Haram Yang Disepakati: Tawassul Dengan Dzat Yang Terlarang

Para ulama sepakat bahwa tawasul yang dilarang adalah penyembahan kepada selain Allah swt, dengan dalih  tawasul dengan menjadikan sesembahan itu sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Tawassul inilah yang dilakukan orang-orang musyrik, yang pada hakikatnya bukanlah tawassul, namun penyembahan kepada selain Allah swt. Dimana, Allah sendiri menolak perbuatan ini sebagai tawassul

 

c. Tawassul Khilafiyyah: Tawassul Dengan Kemulian Makhluk

Bahwa titik khilafiyyah dalam masalah tawassul terjadi jika yang dijadikan wasilah adalah kemulian dari suatu dzat, apakah manusia ataupun benda. Apakah dzat tersebut masih hidup ataupun sudah wafat, bahkan sekalipun dzat yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw ataupun orang-orang shalih dari kalangan shahabat dan para ulama. Di mana, dzat tersebut di dalam syariat memiliki kemulian yang tidak dipungkiri oleh setiap muslim.

 

Jika diperhatikan, tawassul jenis ini pada dasarnya merupakan salah satu ritual yang telah mentradisi di tengah masyarakat muslim. Bahkan tak jarang, tawassul ini selalu menjadi bacaan yang senantiasa dibaca sebelum dimulainya suatu kegiatan seperti dalam setiap doa berjama’ah, pengajian, taklim atau majlis ilmu. (shalawat badar, munjiyat, burdah dll)

 

Para ulama yang membolehkan bertawassul kepada kemulian Nabi saw dan kemulian dzat lainnya, meyakini bahwa Rasulullah tetap bisa mendoakan kebaikan atas umatnya, meskipun beliau telah wafat (kalangan NU, NW dll). Sementara yang menolak, meyakini bahwa jika anak Adam telah wafat putus segala amalnya kecuali tiga, sebagaimana dalam hadits Muslim (Muhammadiyah, Salafi dll).  

 

Meskipun tawasul dibolehkan bahkan disunahkan, doa secara langsung lebih kita utamakan, sesuai dengan firmanNya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.  (Al Baqorah [2]: 186)

 

 

Posting Komentar untuk "TAWASUL YANG DISEPAKATI DAN DIPERSELISIHKAN"