Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERBEDAAN LAMARAN/PINANGAN DAN TUNANGAN



           a. zahri.com ~ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lamaran dan pinangan memiliki arti yang sama, berasal dari kata lamar, melamar atau pinang, meminang (1) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain); (2) meminta pekerjaan (di kantor dan sebagainya). Berbeda dengan tunangan, berasal dari kata tunang, bertunangan: bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan menjadi suami istri.

Jika ditelisik lebih jauh antara  lamaran/pinangan  dan tunangan, meskipun serupa namun tidak sama. Banyak hal yang membedakan antara lamaran dan tunangan, baik dari  teksbook  yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun praktek dalam masyarakat.

            Perbedaan keduanya dapat dilihat dari aspek teologis, sosiologis dan yuridis. Aspek teologis dimaksudkan berkaitan dengan sumber norma, apakah berasal dari norma agama atau semata-mata norma adat-kebiasaan. Aspek sosiologisnya dilihat bagaimana praktek keduanya dalam berbagai suku yang ada di Indonesia, misalnya: Jawa, Sunda, Batak, Madura dll. Sementara aspek yuridis dilihat hubungan hukum  dan akibat hukumnya dari kedua tindakan pra nikah tersebut.

1. Aspek  Teologis

Lamaran/pinangan atau khitbah memiliki landasan teologis dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Salah satu ayat yang dijadikan pijakan tentang lamaran  adalah firman Allah Swt Surat Al-Baqarah  ayat 235:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

        Karena lamaran di bersumber dari norma agama, maka banyak aturan main yang musti diindahkan sebagai panduan agar kegiatan lamaran itu bernilai ibadah dan menggapai ridha-Nya.

Sementara tunangan tidak  ada landasan teologis dari agama, bahkan disinyalir berasal  dari budaya Barat yang kemudian diserap oleh budaya lokal dengan inovasi dan berbagai modifikasi sesuai budaya lokal setempat. Tidak ada norma baku dalam tunangan, tergantung adat istiadat setempat yang terkadang tidak rasional dan mencerahkan.

2. Aspek Sosiologis

   Praktek lamaran di masyarakat Muslim Indonesia meskipun telah diwarnai dengan adat masing-masing suku dan tempat, namun norma pokok masih dipegang teguh dengan harapan proses melamar yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam akan mendapat berkah dan menjadi ibadah.

a. Melamar kepada Wali

Melamar itu dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya kepada wali perempuan dan wali yang akan menyampaikan kepada calon mempelai perempuan, bukan langsung calon pengantin laki-laki dan perempuan saling bertemu berduaan. Wali atau wakil wali/keluarga perempuan yang akan menanyakan pada calon pengantin perempuan, apakah dia menerima atau menolak. Panduan nash tentang respon calon pengantin perempuan dibedakan antara janda dan gadais, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:  

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ، قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

 

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga diajak musyawarah, sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, ”(Izinnya adalah) diamnya.”

   Sementara tunangan lazimnya lebih kepada acara seremonial dan makan-makan, tidak ada perbincangan lagi soal setuju atau tidak setuju. Telah ada kesepakatan untuk menuju pernikahan dan kesepakatan itu dalam proses tunangan biasanya dilambangkan dengan tukar cincin yang dilakukan langsung antara calon pengantin pria dan wanita.

b. Dua Cara Melamar

Melamar ada  dua cara tasrih dan ta’rid, tasrih artinya dengan bahasa yang jelas dan terang, sementara ta’rid dengan bahasa sindiran/majaz. Imam An-Nawawi mengungkapkan:

 ثُمَّ الْمَرْأَةُ إِنْ كَانَتْ خَلِيَّةً عَنِ النِّكَاحِ وَالْعِدَّةَ، جَازَتْ خِطْبَتُهَا تَعْرِيضًا وَتَصْرِيحًا، وَإِنْ كَانَ مُعْتَدَّةً، حَرُمَ التَّصْرِيحُ بِخِطْبَتِهَا مُطْلَقًا. وَأَمَّا التَّعْرِيضُ، فَيَحْرُمُ فِي عِدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ، وَلَا يَحْرُمُ فِي عِدَّةِ الْوَفَاةِ

Artinya, “Kemudian, jika seorang perempuan terbebas dari pernikahan dan iddah, maka ia boleh dilamar, baik dengan ungkapan sindiran maupun dengan ungkapan sharih (terang-terangan). Sementara jika si perempuan sedang menjalani masa iddah, maka secara mutlak haram melamarnya dengan ungkapan sharih. Begitu pula melamarnya dengan sindiran. Walaupun dalam masa iddah raj‘i, ia tetap haram. Sedangkan jika ia dalam masa iddah wafat, dilamar dengan ungkapan sindiran tidaklah haram.” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibib, jilid VII, halaman 30).

Dengan bahasa yang jelas, misalnya ungkapan calon pengantin pria mengumukakan kepada wali “ Saya melamar anak Bapak untuk menjadi istri saya, percayalah bahwa saya laki-laki yang baik dan bertanggungjawab”. Sindiran, misalnya dengan ungkapan,” Kasihan putri Bapak hidup sendiri, dia perlu pendamping baru setelah ditinggal mati suaminya”.

            Dalam tunangan tidak dikenal ada ungkapan terus terang atau sindiran. Semua harus diungkapkan dengan jelas dan terang, tidak ada kata-kata sindiran. Bahkan tunangan lazimnya sudah membahas  rencana pernikahan, anggaran walimah/resepsi dan seterusnya.

c. Boleh Melihat Wajah dan Tapak Tangan

Melamar dalam pengertian syar’i boleh jadi antara calon pengantin pria dan wanita belum saling kenal, apalagi saling melihat oleh karena itu Rasulullah Saw dalam hadits dari Jabir, riwayat Abu Daud mengatakan:

إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل

“Apabila salah salah seorang dari kamu melamar perempuan dan dapat melihat untuk mendorong kepada pernikahan , hendaklan ia melihat”.

Kebolehan melihat dalam konteks hadits ini tentu terbatas pada hal-hal yang dapat dilihat, yakni hanya muka dan tapak tangan. Tidak boleh melihat perhiasan/aurat karena masih belum halal untuk melihat. Kehalalan mulai berlaku setelah akad nikah.

Adapun proses tunangan kebanyakan sudah saling melihat, bahkan sudah pernah jalan berdua. Jadi dalam tunangan tidak lagi berbicara sudah melihat atau belum melihat, tapi hal yang dilihat dan dibayangkan itu segera jadi kenyataan.

d. Tidak Boleh Melamar Lamaran Orang Lain

Termasuk larangan sementara adalah melamar seorang perempuan yang sudah dilamar laki-laki lain. Bahkan, ulama sepakat mengharamkannya jika lamaran dari laki-laki pertama jelas diterimanya kecuali diizinkan oleh pelamar pertama tersebut atau ia meninggalkannya tanpa alasan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.

لاَ يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ

“Janganlah salah seorang dari kalian meminang (wanita) yang telah dilamar oleh saudaranya, hingga pelamar sebelumnya meninggalkan si wanita atau memberi izin kepadanya.”(Muttafaqun ‘alaihi).

               Dalam tunangan tidak ada lagi wacana merebut calon orang lain, hal demikian sudah dianggap berlalu. Jika terbukti ketika akan tunangan salah satu sudah berpindah pilihan, maka  tunangan terancam batal. Masyarakat beranggapan bahwa tunangan itu sudah setengan dari perkawinan sehingga banyak hal terkait dengan hubungan kedua calon pengantin yang terlarang menurut agama, dimaklumi.

3. Aspek Yuridis

                       

Karena lamaran/pinangan bersumber dari norma agama, sementara masyarakat Indonesia itu dikenal relegius, maka wajar bila lamaran/pinangan atau khitbah diatur dalam peraturan perundang undangan. Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Isam, lamaran/pinangan  dirumuskan pada pasal 11 sampai 13 sebagai berikut:

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

                    Sementara tunangan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, hal ikhwal mengenai tunangan kembali kepada adat masing-masing suku.

                    Dalam masyarakat atau komunitas tertentu terkandang antara lamaran dan tunangan sulit dibedakan, bahkan lamaran dan tunangan berbaur menjadi satu. Atau maksudnya lamaran tapi dianggap tunangan.

                    Mengungkap perbedaan lamaran dan tunangan dalam tulisan ini hanya sepintas atau ala kadarnya saja, berdasarkan indikator yang nampak dipermukaan. Tentu jika dikaji lebih mendalam akan menghasilakan pandangan yang berbeda. Walhu ‘alam bi shawab.

 

 

Posting Komentar untuk "PERBEDAAN LAMARAN/PINANGAN DAN TUNANGAN"