Ijtihad dan Mujtahid Part 5
azahri.com
7. Tingkatan Mujtahid
Tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima
tingkatan:
a)
Mujtahid
Mustaqil: adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri.
b)
.Mujtahid
Mutlaq Ghairu Mustaqil: adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqil namun tidak menciptakan sendiri, tetapi mengikuti metode salah satu
mazhab.
c)
Mujtahid
Muqayyad/Takhrij: adalah mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang
diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya, tetapi tidak boleh
keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya.
d)
Mujtahid
Tarjih: adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi ia seorang fakih yang menghafal mazhab imamnya serta mengetahui secara
baik kaidah-kaidah imam mazhabnya.
e)
Mujtahid
Fitya: adalah mujtahid yang kemampuannya hanya menghafal mazhabnya sendiri dan
berusaha menjelaskan persolan-persoalan yang sulit dalam mazhabnya kepada
masyarakat. إرشاد
السالك - (1 / 201)
8. Lapangan Ijtihad.
Tidak
boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan
pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di
tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak
ada peluang untuk ijtihad.
Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman
yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan
dari Allah dan Rasul-Nya bukan menjadi objek pembahasan.
Dalam firman Allah yang artinya : “dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat”. Setelah sunah perbuatan nabi menjelaskan
maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam
menjelaskan pengertian keduanya.
Apabila kejadian yang hendak diketahui
hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salah satunya saja, maka
keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan
datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah Saw. dan
tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu
telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia
boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan
peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu.
Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam
ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum
syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini
ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau
tidak.
Sehingga secara umum lapangan hukum Islam
yang tidak boleh menjadi objek ijtihad adalah :
a)
Hukum yang
dibawa oleh nash qath’i, baik kedudukannya maupun pengertiannya.
b)
Hukum-hukum
yang tidak dibawa oleh suatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari
agama, tetapi telah disepakati oleh para mujtahid dari suatu masa.
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan
ijtihad, seperti yang dikemukakan oleh Abdullah Wahhab Khallaf, adalah
masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari
Rasulullah Saw, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kedalam
tiga macam:
a)
Hadits
Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang
tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir. Hadits Ahad dari segi kepastian
datangnya dari Rasulullah Saw hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni)
dalam arti tidak tertutup kemungkinan adannya pemalsuan meskipun sedikit.
b)
Lafal-lafal
atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunjukkan pengertiannya secara tidak
tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat
ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu.
c)
Masalah-masalah
yang tidak ada teks ayat atau Hadits dan tidak pula ada ijma’ yang
menjelaskannya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting
dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadits.
Posting Komentar untuk "Ijtihad dan Mujtahid Part 5"