Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEWAJIBAN AHLI WARIS DI LUAR TAJHIS


 

azahri.com ~ Apabila ada muslim yang wafat, maka kewajiban muslim yang lain adalah melakukan tajhis janazah (merawat jenazah). Kewajiban merawat janazah itu  hukumnya fardhu (wajib) kifayah, artinya  kewajiban itu cukup dikerjakan oleh kelompok masyarakat. Apabila tidak ada yang merawat jenazah, maka seluruh masyarakat muslim akan mendapat dosa. Sedang bagi yang mengerjakannya akan mendapatkan kebaikan dan pahala dihadapan Allah Swt.

Merawat jenazah sebaiknya segera dilakukan, tidak perlu menunggu terkumpulnya semua keluarga (ahli waris). Tajhis janazah meliputi empat tindakan: memandikan, mengkafani, menshalatkan dan mengubur. Setiap proses memiliki kaifiah dan hai’ah (teknis operasional)  tersendiri dan secara detail telah dibahas panjang lebar dalam kitab fikih bab merawaj janazah.

Kewajiban lain, selain tajhis, yang dibebankan kepada keluarga, khususnya ahli waris dan terkadang terlupakan antara lain:

1.    Menunaikan Wasiat dan Membayar Hutangnya.

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (An Nisa’ 11)

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[ HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619]

Lebih lanjut  Rasulullah Saw. bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi. [HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

            Dari nash-nash tersebut ahli waris harus memenuhi wasiat si mayit manakala wasiat dimaksud tidak menyelisihi syariat Islam. Jika wasiatnya bertentangan dengan syariat, maka tidak wajib dilaksanakan, Atau diluruskan sehingga memenuhi ketentuan syariat. Misalnya si mayit berwasiat bahwa seluruh hartanya sepeninggalnya kelak diwakafkan ke masjid, sementara ahli warisnya juga sangat membutuhkan, maka keadaan yang demikian wasiat dilaksanakan maksimal 1/3 harta.

            Bila si mayit punya utang maka harus segera dibayarkan dari harta peninggalanya, jika tidak mencukupi dibayar ahli warisnya atau minta dibebaskan kepada krediturnya (pemberi pinjaman).

2.      Membagi Harta Warisan Si Mayit

Harta mayit setelah dikeluarkan biaya tajhis, menunaikan wasiat dan membayar hutang , jika masih ada sisa disebut harta warisan.  Harta warisan secara ijbari menjadi hak ahli waris, maka para ahli waris harus segera membagi harta wrisan sesui dengan porsi masing-masing.

Bagian ajaran Islam yang disajikan secara tafsili (rinci) oleh nash salah satunya adalah pembagian harta warisan. Kalau pembagian warisan ditunda-tunda karena berbagai alasan, maka sering menimbulkan masalah  di belakang hari, apalagi jika ada  ahli waris yang meninggal juga.

Alasan yang sering mengemuka, tak elok/pantas orang baru meninggal hartanya sudah dibagi. Takut ahli waris yang mengajak membagi dianggap serakah dll. Alasan demikan tentu tidak sejalan dengan tuntunan agama yang meniscayakan segera membagai waris, tentu tetap memperhatikan situasi dan kondisi. Makna segera sudah barang tentu tidak serta merta, setidaknya masa berkabung sudah selesai.

Apabila tidak ada ahli waris yang mengerti soal warisan bisa minta tolong perorangan atau lembaga yang berkompeten, kiai, ustad, ormas, pengadilan dsb. Semakin cepat suatu masalah dituntaskkan hubungan kekeluargaan semakin terjaga.

3.  Menunaikan Qodho’ Puasa dan Nadzar Si Mayit

Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.[ HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147 ]

Sa’ad bin ‘Ubadah Ra. pernah meminta nasehat pada Rasulullah Saw., dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ اقْضِهِ عَنْهَا

Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi Saw. lantas mengatakan, kamu tunaikan nazar itu untuknya.

            Puasa wajib yang biasa dilakukan oleh almarhum/almarhumah secara rutin dan masih ada sisa karena sakit atau tiba-tiba dipanggil oleh-Nya, bukan seseorang yang tidak pernah puasa atau puasa semaunya, hal demikian tentu tidak relevan dengan semangat hadis tersebut. Nadzar demikian halnya, sepanjang yang dinadzarkan bukan perbuatan maksiat dan mampu dilaksanakan oleh ahli waris.

            Jadi tidak semua kewajiban yang ditinggalkan si mayit dapat diqodho’, misal sepanjang hayat si mayait jarang shalat, maka dalam hal demikian ahli waris tidak perlu mengqodho’. Kembali kepada prinsip bahwa seseorang tidak memperoleh balasan kecuali yang ia kerjakan dan seseorang tidak dibebani menanggung dosa orang lain. Walalhu “alam bi sahawab.

           

Posting Komentar untuk "KEWAJIBAN AHLI WARIS DI LUAR TAJHIS"