WALI HAKIM ITU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
AZAHRI.COM ~ Wali adalah salah satu dari
rukun nikah yang lima. Hal ini sesuai
sabda Nabi Saw: لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ Artinya, “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil,” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi).
Dalam
kitab fikih wali didefinisikan:
الولاية في اللغة: تأتي بمعنى
المحبة والنصرة. …والولاية في الشرع: هي تنفيذ القول على الغير، والإشراف على
شؤونه
“Perwalian secara bahasa
bermakna cinta atau pertolongan…perwalian secara syariat ialah menyerahkan
perkataan pada orang lain dan pengawasan atas keadaannya”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
kata wali, salah satunya adalah pengasuh pengantin perempuan
pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin
laki-laki). Dalam praktek, wali nikah diartikan sebagai orang yang berhak
menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya.
Wali nikah ada 2 macam, wali nasab dan wali hakim. Wali
nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang
mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut
ketentuan hukum Islam.
Dalam Pasal
1 ayat 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang
Wali Hakim, menyatakan bahwa wali hakim
adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Dalam hadis disebutkan bahwa wali hakim berada di tangan sultan. Hadis
dari A’isyah ra,
Rasulullah SAW bersabda,
فَإِنْ اشْتَجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi
wali untuk orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083,
Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Pendapat
umum mengatakan bahwa sultan itu adalah pemimpin negara tertinggi. Dalam kontek
Negara Republik Indonesia adalah presiden. Presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan.
Pemahaman bahwa sultan itu kepala negara dapat dibaca hasil putusan Forum Konferensi Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan Presiden RI saat itu, Ir. Soekarno dan pejabat negara lainnya disebut بِالشَّوْكَةِالضرورىوَلِى اْلأَمْرِ (penguasa pemerintahan secara darurat sebab kekuasaannya). Putusan tersebut diambil berdasarkan hadis di atas dan dikaitkan dengan Al Qur’an surah an-Nisa’ ayat 59.
Putusan tersebut mengandung implikasi hukum, yang antara
lain bahwa Presiden Soekarno sah menjadi wali hakim dalam
pernikahan. Selanjutnya presiden memberi tauliyah (pelimpahan wewenang) kepada
para pembantunya.
Dalam Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
dinyatakan bahwa keabsahan suatu pernikahan menurut agama Islam ditentukan
antara lain oleh adanya wali nikah. Karena itu apabila wali nasab tidak ada,
atau mafqud
(tidak diketahui dimana keberadaannya) atau berhalangan atau tidak memenuhi
syarat atau adhal (menolak), maka wali nikahnya adalah wali hakim;
Selanjutnya pada Pasal 3 dirumuskan bahwa
:
1.
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
(KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim
untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
Peraturan ini.
2.
Apabila Kepala KUA Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang
membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama
kabupaten/kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu
Penghulu pada kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali
hakim dalam wilayahnya.
3.
Bagi daerah terpencil atau sulit
dijangkau oleh transportasi, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama menunjuk pembantu penghulu pada
kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
4.
Pasal 4 ayat 1: Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji diberi wewenang untuk atas
nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang cakap dan ahli serta memenuhi syarat
menjadi wali hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini.
Dengan alasan apapun, mereka yang tidak dapat tauliyah dari
sultan, tidak berhak menjadi wali hakim, meskipun mereka pejabat tinggi atau
mereka yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat (tokokh, kiai, imam dll).
Masih sering terjadi kasus para tokoh (ustaz,
imam, kiai) karena
berbagai sebab atas permintaan pihak yang berhajat berani melakukan pernikahan
yang melanggar syarat dan rukun nikah. Kasus yang sering terjadi tempo dulu
(semoga sekarang tidak ada lagi), ustaz/kiai bertindak sebagai wali hakim dengan
dalih wali calon mempelai wanita jauh,
tidak diketahui keberadaannya atau non muslim.
Perkawinan demikian biasanya
dilakukan di bawah tangan atau istilah umumnya perkawinan sirri.
Seharusnya, jika ada permintaan nikah siri, para tokoh agama tadi memberi arahan kepada jamaah jika ada yang
menikah harus diproses secara legal formal, harus dihindari nikah sirri karena akan merugikan
kedua belah pihak terutama kaum wanita. Terlebih di zaman digital ini
komunikasi sudah mudah dan murah, jadi tak ada alasan menyimpangi peraturan.
Tugas utama tokoh agama dalam hal
perkawinan adalah memberi bekal keagamaan
kepada calon mempelai bagaimana mengarungi rumah tangga menggapai samawa
(sakinah mawaddah wa rahmah). Untuk mengurangi kasus perceraian tokoh agama bisa memperbaiki hubungan
suami-istri yang mulai retak dan merukunkan kembali.
Wal hasil, sesungguhnya wali hakim
itu presiden, jadi siapapun tidak boleh menggampangkan diri untuk menjadi
wali hakim jika tidak mendapat tauliyah/delegasi kekuasaan dari presiden, dalam
hal ini Bapak Presiden RI Joko Widodo. Wallahu ‘alam bishawab.
Berikut disajikan urutan wali nikah sesuai ketentuan fikih dan peraturan
perundang-undangan sebagai pedoman bagi mereka yang terlibat pernikahan agar
tidak salah dalam menentukan wali.
Posting Komentar untuk "WALI HAKIM ITU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA"