Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RAMBUT RASULULLAH SAW.

 


            Memperbincangkan rambut Rasulullah saw menyangkut dua aspek, aspek taqwiniyah (penciptaan) dan aspek tasyri’iyah  (aturan hukum). Aspek bentuk,  rupa atau warna rambut untuk tiap-tiap orang tentu berbeda: ada yang kriting, lurus, ikal, hitam, putih, perang dsb.

Apapun bentuk dan warna rambut manusia, namun yang patut disyukuri bahwa  manusia adalah mahluk Allah swt dengan bentuk yang paling sempurna. Firman Allah swt da;am surat At Tiin ayat (5):

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

            Dalam hal bentuk dan warna rambut secara alami adalah milik masing-masing orang dan itu merupakan anugerah ilahi, baik bagi orang biasa maupun nabi. Nabi  Saw. sebagai manusia juga terkena ‘aradhul basyariyah (hal ikhwal yang berlaku pada manusia). Oleh karenanya dalam bentuk dan warna rambut secara alamiyah tidak ada kewajiban bagi umatnya untuk meniru.

            Berbeda dari hal tersebut di atas, adalah dalam hal yang tasyri’iyah, yaitu aturan agama yang harus dipatuhi dan diikuti berdasarkan contoh dari Rasulullah swa. Dalam hal yang tasyri’iyah maka Rasulullah adalah uswatun hasanah dalam pengertian yang menyeluruh. Al Qur’an menyatakan:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌحَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَوَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ الله كثِرًا [الأحزاب : 21]

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

            Aspek keteladanan dari beliau Saw. yang harus kita ambil dalam hubungan sesama   adalah dalam hal  cara berbicara, bergaya, berpakain, berpenampilan di depan publik maupun di ruang terbatas.

 Dalam banyak hadits dijelaskan bahwa Rasulullah manusia yang sangat tampan dan berpenampilan sederhana, bersih dan rapi serta indah dipandang. Sosok yang ideal/most perfect, pokoknya keren.

عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَراءَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُمْ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الذَّاهِبِ وَلابِالْقَصِيرِ. صحيح مسلم - (15 / 332)

Dari Abi Ishak, dia mendengar Bara’ berkata:  Adalah Rasulullah manusia yang paling tampan lagi baik ahlkanya, tidak terlalu tinggi dan tidak pula pendek (H.R Muslim).

Islam membolehkan pemeluknya berpenampilan yang indah dan anggun. Tidak menyukai manusia yang berpenampilan lusuh dan kumuh. Sabda Nabi:

عنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى لله  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ الله جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ (رواه مسلم)

“Dari lbn Mas'ud dari Nabi SAW, ia berkata. "Tldak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar atom sekalipun". Seorang laki-laki berkata, "Bagaimana kalau ada orang yang senang pakaiannya bagus dan sandalnya bagus?" Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Mencintai Keindahan. "

            Berpenampilan keren tidak dilarang dalam Islam sepanjang tidak dilatar belakangi kesombongan,  israf (berlebihan) dan ketidakwajaran. Kewajaran yang dalam bahasa agama disebut ma’ruf adalah sesuatu yang sesuai dengan kearifan lokal. Misalnya, dalam soal panjangnya rambut, apakah kebiasaan masyarakat dimana seseorang tinggal,  bagi kaum laki-laki berambut gondrong atau cepak?

Bagaimana dengan panutan kita, Nabi Muhammad Saw., seberapa panjang rambut beliau? Apakah panjangnya rambut beliau  termasuk sunnah?

Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa  rambut Rasulullah Saw. panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadis,  seperti:

عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ أَحْسَنَ مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ

Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah. Dalam suatu riwayat lain, rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya, (H.R. Muslim: 2337)

Adapun berkaitan dengan hukum memanjangkannya, maka para ulama berbeda pendapat.

1.     Memanjangkan Rambut  Hukumnya Sunnah.

Mereka berdalil bahwa hukum asal perbuatan Nabi Saw. adalah ibadah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Qs. Al-Ahzab: 21)

Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka meniru Rasulullah Saw. itu bagus dan dihukumi sebagai ibadah, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, beliau mengatakan (dalam al-Mughni: 1/119), Hal ini (memanjangkan rambut bagi laki-laki) hukumnya sunnah. Seandainya kami mampu melakukannya, maka akan kami lakukan, tetapi ada faktor kesibukan dan biaya yang diperlukan.

Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah Saw. yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu (sibuk mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan semisalnya). Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi Saw. tidak akan susah payah melakukannya.

2.         Memanjangkan Rambut Hukumnya Mubah

Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah Saw. kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan dicukur semua”.

Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah Saw.   tidak akan memerintahkan untuk mencukur, tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.

Adapun yang dilakukan oleh Nabi Saw. memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat itu. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila beliau Saw.  menyelisihi mereka dalam suatu perkara, berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah).

Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi  Saw. menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.

Pendapat inilah yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin dalam Mandzumah Ushul Fikih wa Qawa’iduhu, hlm. 118 - 119. Walhu ‘alam bi shawab.

Posting Komentar untuk "RAMBUT RASULULLAH SAW."