Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IMAM TIDAK BOLEH OFFSIDE

Akad Nikah di Majenang Jateng

azahri.com

            Kajian ini berlatar belakang strata masyarakat Islam Luar Jawa, khususnya Indonesia Timur, dimana imam masjid memiliki kedudukan dan kewenangan khususus yang berbeda dengan masyarakat muslim Jawa.

            Imam masjid memiliki teritorial tertentu, sesuai dengan domisili para jamaahnya yang biasanya berada di sekitar masjid. Peran imam di sini dalam beberapa aspek sama dengan peran kiai atau ustaz di Jawa. Jadi judul Imam Offside dapat dibaca pula Kiai atau Ustaz  Offside.

1.  Makna Imam

Kata Imam (إمام) memiliki makna luas dan sempit. Makna luas imam  adalah orang yang memegang kepemimpinan Islam dalam bidang pemerintahan/muamalah duniawiyah dan urusan ibadah. Makna sempit imam adalah orang yang memegang otoritas kepemimpinan dalam hal ibadah dan keilmuan. Lebih sempit lagi hanya bermakna sebagai imam shalat.

Rasulullah SAW adalah imam dalam arti luas, memegang otoritas kepemimpinan dalam hal ibadah dan dalam hal kekuasaan negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Dalam hal ini Rasulullah SAW sebagai sultan, ulil amri dsb.

Pendiri madzhab empat (Hanafi, Malik, Syafii dan hambali) dan para pentakhrij hadis   (Al Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai, Ibu Majah, Ahmad, Bahaqi) adalah imam yang tidak hanya memimpin shalat, namun juga gelar kepakaran dalam ilmu agama Islam yang terkenal.   

Pada bidang kekuasaan negara padanan kata imam adalah khalifah, sultan, amir,  ulil amri dsb. Misalnya  Sultan Amangkurat IV (1719-1724) raja keraton Yogyakarta bergelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah,”

Imam dalam arti yang paling sempit adalah imam masjid, meskipun disebut imam besar. Seperti Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Imam Besar Masjid Agung An Nur dsb.

2.  Tupoksi Imam Masjid

Tugas pokok  dan fungsi imam masjid adalah memakmurkan masjid, khususnya  menghidupkan kegiatan ibadah, dakwah, taklim dan sosial keagamaan. Secara rinci tugas imam sebagai berikut:

a.     Memimpin Shalat Berjamaah

Tugas paling utama dari seorang imam masjid adalah memimpin shalat berjamaah dengan sebaik-baiknya. Karena itu, seorang imam, tentu saja harus memiliki kesiapan diri untuk memimpin shalat, menggunakan pakaian yang baik, memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik dan menyiapkan waktu secara rutin. Imam yang tidak siap setiap waktu shalat membuat jamaah galau karena terkadang menunggu lama untuk terlaksanannya shalat berjamaah.

Salah satu persoalan penting dalam shalat berjamaah adalah teraturnya barisan atau shaf jamaah hingga menjadi shaf yang lurus dan rapat. Karena itu, imam harus memberi porsi perhatian yang besar, bukan hanya dalam bentuk himbauan-himbauan menjelang pelaksanaan shalat dengan mengatakan luruskan dan rapatkan shaf, tapi juga harus mengontrol langsung, bahkan untuk bisa mewujudkan shaf yang teratur, imam masjid perlu juga mendapat bantuan dari petugas khusus yang ditunjuk dan disepakati sehingga shaf-shaf shalat di bagian belakang bisa ditertibkan oleh petugas ini.

b.     Menyampaikan Khotbah

Dari segi ubudiyah, disamping shalat yang lima waktu, terdapat juga shalat Jum’at yang mesti didahului dengan khutbah, begitu juga dengan beberapa shalat yang lain seperti Idul Fitri, Idul Adha, Istisqa, dll. Karena itu seorang imam idealnya  memiliki kemampuan menyampaikan khotbah dengan sebaik-baiknya, yakni khotbah yang singkat, padat dan sistimatis dengan pembawaan yang menarik.

Imam masjid tentu lebih tahu tentang kondisi keislaman jamaahnya, baik dari segi pemahaman maupun pengamalannya. Karena itu, imam masjid bersama seksi bidang peribadatan perlu merumuskan arah penyamapaian materi dalam khotbah Jum’at dan memberi masukan kepada khotib-khotib yang bertugas menyampaikan khutbah.

c.     Mengarahkan Konsep Pemakmuran Masjid

Seorang imam tidak hanya harus paham bagaimana masjid harus dimakmurkan, tapi juga harus mampu mengarahkan konsep pemakmuran masjid itu, baik kepada pengurus masjid maupun jamaahnya, Kalau pengurus masjid mewujudkan pemakmuran masjid dari segi manajerial dan segala aktivitas yang bersifat praktis, maka imam masjid mengarahkannya dari sisi nilai agar proses pemakmuran masjid tidak menyimpang dari ketentuan yang semestinya.

Pelaksanaan ubudiyah yang sesuai dengan sunnah rasul, pengajian rutin bagi jamaah, pembinaan remaja dan anak-anak, pengkaderan khotib dan muballigh dan sebagainya merupakan hal-hal yang harus dikontrol perkembangannya oleh imam masjid bersama pengurus yang terkait.

Dari sini, imam masjid dengan pengurus masjid saling bahu-membahu atau menjalin kerjasama yang baik dalam upaya mewujudkan masjid yang ideal pada masa kini dan mendatang.

d. Menjadi Pembimbing dan Konsultan Jamaah

Jamaah masjid seringkali menghadapi masalah, baik masalah yang terkait dengan problema diri dan keluarganya maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan kejelasan hukum Islam dalam berbagai persoalan. Mereka sebenarnya memerlukan tempat untuk berkonsultasi guna memecahkan masalah dan memahami kejelasan hukum terhadap persoalan-persoalan tertentu.

Imam masjid disamping harus memimpin shalat, seharusnya bertugas juga sebagai konsultan bagi jamaahnya dalam memecahkan persoalan. Manakala tugas ini bisa dilaksanakan, maka masyarakat Islam yang merupakan jamaah masjid memiliki tempat untuk bertanya atas berbagai persoalan yang dihadapinya, kepada mereka dijelaskan mana sunnah dan mana bid’ah, mana urusan agama dan mana adat istiadat dan begitulah seterusnya.

Disinilah letak pentingnya imam memahami seluk beluk perbedaan pendapat dalam masalah fikih sehingga tahu mana yang prinsip  dan mana yang sepele.

Seorang imam juga harus memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, antara lain: peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, shadaqah, bahkan ekonomi syariah.

Disamping itu,  di zaman now ini imam tidak boleh gaptek (gagap teknologi), harus paham dunia digital, medsos, pendek kata,  harus bisa mengoperasikan komputer dan hape, jika tidak, maka tidak adaptif terhadap perkembangan zaman dan tidak dapat memahami dan merangkul anak muda.

  3.  Imam Offside

Imam harus paham peraturan perundang-undangan terkait hukum Islam agar tidak salah bertindak. Banyak norma hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif, tidak lagi semata hukum fikih. Jika telah menjadi hukum positif tentu ada institusi yang berwenang.

Dalam hal demikian imam harus tahu posisinya, jangan sampai offside sehingga merugikan jamaah dan mendapat teguran dari wasit.   Bagi penggemar bola tentu tak asing dengan istilah offside. Offside adalah Sebuah situasi yang terjadi jika seorang pemain diberikan bola ketika berada lebih dekat dengan garis gawang lawan dibanding posisi pemain lawan.

Kasus imam offside yang sering dijumpai adalah pada prosesi perkawinan sirri atau di bahwa tangan. Karena berbagai sebab atas permintaan pihak yang berhajat imam berani melakukan pernikahan yang melanggar syarat dan rukun nikah. Kasus yang sering terjadi tempo dulu (semoga sekarang tidak ada lagi), imam bertindak sebagai wali hakim dengan dalih  wali calon mempelai wanita jauh, tidak diketahui keberadaannya atau non muslim.

Dengan alasan apapun imam tidak boleh bertindak sebagai wali hakim, karena berdasarkan hukum Islam  maupun hukum positip wali hakim berada di tangan sultan. Dalam hadis dari A’isyah ra, Rasulullah SAW bersabda,

فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).

Berdasarkan hadis di atas, maka penguasa, dalam hal ini pejabat negara yang bertugas menjadi wali hakim bagi yang tidak punya wali nasab atau walinya tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan hadis di atas dan  dikaitkan dengan  Alquran surah an-Nisa’ ayat 59, maka Forum Konferensi Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Cipanas tahun 1954 menetapkan presiden RI saat itu, Ir Sukarno, dan alat-alat negara bisa disebut وَلِىُّ اْلأَمْرِ الضَّرُوْرِىّ بِالشَّوْكَةِ (penguasa pemerintahan secara darurat sebab kekuasaannya). Dengan demikian presiden Soekarno sah menjadi wali hakim dalam pernikahan. Selanjutnya presiden memberi tauliyah (pelimpahan wewenang) kepada para pembantunya.

Sementara Muhammadiyah menetapkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (دارالعهد والشهادة) sebagaimana telah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Darul ahdi artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Negara kita berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik, sepakat untuk mendirikan Indonesia.

Darul syahadah artinya negara tempat kita mengisi. Jadi setelah kita punya Indonesia yang merdeka, maka seluruh elemen bangsa harus mengisi bangsa ini menjadi Negara yang maju, makmur, adil bermartabat.

Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim dinyatakan bahwa keabsahan suatu pernikahan menurut agama Islam ditentukan antara lain oleh adanya wali nikah. Karena itu apabila wali nasab tidak ada, atau maqfud (tidak diketahui dimana keberadaannya) atau berhalangan atau tidak memenuhi syarat atau adhal (menolak), maka wali nikahnya adalah wali hakim;

Selanjutnya Pasal 1 ayat 2 menggariskan bahwa yang dimaksud dengan Wali Hakim, adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.  Pasal 3 ayat

1.    Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini.

2.    Apabila Kepala KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.

3.    Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.

4.    Pasal 4 ayat 1: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang cakap dan ahli serta memenuhi syarat menjadi wali hahim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini.

Para imam harus memberi arahan kepada jamaah jika ada yang menikah harus diproses secara legal formal, harus dihindari nikah sirri karena akan merugikan kedua belah pihak terutama kaum wanita. Terlebih di zaman digital ini komunikasi sudah mudah dan murah, jadi tak ada alasan menyimpangi peraturan.

Dalam hal perkawinan imam memberi bekal keagamaan kepada calon mempelai bagaimana mengarungi rumah tangga menggapai samawa (sakinah mawaddah wa rahmah). Untuk mengurangi kasus perceraian imam bisa memperbaiki hubungan suami-istri yang mulai retak dan merukunkan kembali. Dalam masalah waris, jaka imam menguasai hukum waris dapat menyelesaikan pembagian waris secara damai dll. Wa

Posting Komentar untuk "IMAM TIDAK BOLEH OFFSIDE"