Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ANTARA MASJID DAN KUBURAN DI SAUDI DAN INDONESIA



azahri.com ~ Berkat keberhasilan mengelola sumber migas dan devisa negara, terutama dari pengelolaan haji dan umrah, Arab Saudi menjadi negara petrodolar atau negara kaya. 

Selama ± 40 hari mengamati fasilitas dan kehidupan rakyat Saudi di beberapa tempat, tidak terbantahkan lagi bahwa Saudi memang terbukti negara yang sudah makmur, sejahtera dan aman. Ekonominya sangat stabil. Indikatornya antara lain: infalasi hampir tidak ada, kebutuhan pokok mudah didapat, pembangunan infra struktur berjalan dengan cepat dan merata diberbagai wilayah dsb.

Dengan kekayaan yang melimpah pemerintah Saudi memanjakan rakyatnya dengan membangun berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan badaniah maupun ruhaniah. Kantor-kantor pemerintah dan pelayanan publik di desain dengan rapi dan nyaman, pusat-pusat perbelanjaan untuk kelas menengah atas berupa mall, supermaket dan sejenisnya mudah didapat, demikan pula sarana belanja untuk kelas menengah ke bawah berupa toko grosir, pasar rakyat, kios/mahal tersebar dimana-mana. Pendek kata, meskipun Saudi sebagian besar wilayahnya berupa gurun pasir yang tandus ingin buah apa saja ada dengan harga terjangkau.

Sarana dan prasarana kebutuhan ruhani di negeri ini sangat diprioritaskan. Sebut saja masjid atau mushala. Masjid atau mushala tersebar diberbagai tempat, tidak hanya di pemukiman penduduk, tapi ada di perguruan tinggi, kantor pemerintah, bandara, terminal, sampai di mall dan pertokoan. 

Jangan dibayangkan masjid/mushala di tempat umum berupa ruangan yang sempit dan kumuh, tapi masjid/mushala yang ada di pasar, mall, terminal dsb adalah masjid/ruangan yang indah dengan kapet tebal, bau harum dan full AC serta dikelola dengan serius.
 
Begitu adzan berkumandang semua aktifitas yang ada di tempat tersebut berhenti dan semua orang bergegas menuju masjid menunaikan shalat berjamaah, bahkan toko-toko sudah banyak yang tutup 20 menit sebelum adzan. Para pedagang, karyawan toko, pembeli dan bahkan petugas keamanan mengikuti shalat berjamaah yang dipimpin oleh imam tetap. 

Tiap-tiap masjid punya imam, muadzin dan petugas lain yang mendapat pengahasil yang cukup. Mereka bertugas memakmurkan masjid dengan berbagai kegiatan, tidak hanya shalat lima waktu, tapi hampir di semua masjid ada majlis penghafal al Qur’an untuk anak-anak dan remaja. Pemerintah Saudi punya progaram mencetak sebanyak mungkin warganya hafal al Qur’an.

Ada beberapa hal yang berbeda dalam pengelolaan dan penataan masjid/mushla di Saudi bila dibanding dengan di negara kita. Kita sulit menemukan masjid maupun mushala yang menaruh kotak amal seperti masjid kita di Indonesia, meskipun untuk masjid besar, misalnya masjid Ar Rajhi dan Imam Turki. Kedua masjid tersebut mempunyai kantor untuk menerima zakat atau shadaqoh dari para jamaah.

Perbedaan lain: washstand (tempat cuci muka) dijadikan tempat wudhu, hampir di setiap masjid di Riyadh ada sandaran tempat duduk, terutama di shaf depan, shaf yang terpisah oleh tiang masjid dikososongkan.

Dalam praktek ibadah sering kita jumpai shalat sunat setelah shalat Subuh, adzan lagunya tidak mengalun, tidak ada dzikir bersama setelah shalat, banyak bergerak ketika shalat, termasuk mematikan handphone yang berdering, tidak dijumpai takbiratul ihram lebih dari satu kali dst.

Setelah cari tahu beberapa hal dalam pengelolaan masjid yang berbeda dengan kebanyakan masjid di Indoanesia ditemukan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Saudi negara kaya dan rakyatnya juga banyak yang kaya, sehingga wajar jika masjid tidak perlu pasang kotak amal. Pembangunan dan pengeloaan masjid disamping didanai pihak kerajaan, juga oleh para pengusaha kaya. Misalnya, Masjid Ar Rajhi yang terbesar di Riyadh dibangun dan didanai pengelolaannya oleh pemilik Bank Ar Rajhi;
  2. Tempat cuci muka dijadikan tempat wudhu kayaknya sudah lumrah di negeri ini. Pelanggaran syar’i memang tidak ada, namun kalau di Tanah Air kita dianggap tidak sopan;
  3. Di Riyadh banyak masjid mempunyai sandaran tempat duduk atau kursi, terutama di shaf depan. Setelah kita lihat praktek ibadah mereka, kita dapat memaklumi karena masyarakat Saudi suka berlama-lama di masjid sehingga butuh sandaran atau kursi. Pada hari Juma’at para jamaah sudah mulai berdatangan sejak pukul 09.00 was ( 3 jam sebelum masuk waktu dhuhur) untuk membaca al Qur’an, berdzikir dsb. Dan ternyata sandaran tempat duduk atau kursi-kursi tersebut tidak mengganggu ketika pelaksanaan shalat berjamaah;
  4. Tempat yang sejajar dengan tiang masjid tidak dijadikan shaf dalam shalat berjamaah dan shaf berikutnya mengambil tempat dibelakang, sehingga tempat yang kosong itu untuk rak al Qur’an, tempat minum, tissu dan keperluan lain. Hal ini tentu lebih sesuai syar’i karena dalam shalat berjamaah shaf tidak boleh terputus. Di Haramain (masjd Nabawi dan masjidil Haram) dan beberapa masjid bersejarah lainya seperti masjid Quba ketentuan ini teidak berlaku.
Adapun mengenai praktek ibadah secara singkat dapat diklarifikasi sbb:
1. Shalat sunat yang dilaksanakan setelah shalat Subuh
Shalat sunat yang dilaksanakan setelah shalat Subuh ternayata adalah shalat qobliyah Subuh yang belum dilaksanakan sebelum Subuh karena tidak ada kesempatan, datang ke masjid saat qomat atau mamkmum masbuq. Dasarnya: hadits riwayat yang shahih disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro;
,
عَنْ قَيْسٍ جَدِّ سَعْدٍ قَالَ : رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أُصَلِّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ فَقَالَ :« مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يَا قَيْسُ؟ ». فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ ، فَهُمَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ ، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Dari Qois (kakeknya Sa’ad), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku sedang shalat sunnah fajar setelah shalat Shubuh. Beliau berkata, “Dua raka’at apa yang kamu lakukan, wahai Qois?” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shalat sunnah Fajar. Inilah dua raka’at shalat sunnah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mendiamkannya.” 
Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim.

Dzikir bersama tidak dilakukan karena tidak ada contoh dari Nabi maupun para shahabat, tabiin dst. Praktek di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi sejak dahulu sampai sekarang tidak ada dzikir bersama selesai shalat dengan dipimpin seorang imam;

2. Perihal banyak bergerak ketika shalat. 
Mereka berpendapat boleh bergerak saat shalat sepanjang ada hajat dan tidak membelakangi kiblat. Dasar antara lain:
Rasulullah ketika shalat pernah mengendong dan menurunkan Umamah putri Zaenab.

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ - فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا .وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا } .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .وَلِمُسْلِمٍ : وَهُوَ يَؤُمَّ النَّاسَ فِي الْمَسْجِدِ .

Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu berkata: Pernah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sholat sambil menggendong Umamah putri Zainab. Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim: Sedang beliau mengimami orang.
 
3. Takbiratul ihram memang hanya sekali, tidak ada tuntunan berkali-kali.

4.  Konon adzan bilal dan Ibnu Umi maktum seperti adzan yang ada di Suadi sekarang ini.

Hal berbeda dalam setting dan pengelolaan makbarah/kuburan bila dibanding di Indonesia adalah: semua kuburan di Saudi tidak diterdapat batu nisan layaknya di Indonesia, hanya batu kecil yang diletakkan di bagian kepala. Apalagi cungkup atau bangunan kuburan yang tinggi (tembok keliling, beratap, hiasan ornamen dsb) kayak kuburan wali di Indonesia tidak kita jumpai, termasuk komplek kuburan raja-raja Saudi. Kuburuan di tembok keliling, tidak ada pepohonan, pendek kata tidak ada kesan angker atau magis.

Mereka beralasan bahwa makbarah di-setting demikian semata-mata mengikuti Sunnah Rasul SAW dan Salafus Shaleh. Nabi melarang membangun atau meninggikan kuburan, apalagi membuat cungkup untuk pesarean lalu dikeramatkan supaya manusia datang untuk mencari berkah. Minta berkah, syafaat dan sejenisnya ke kuburan adalah perbuatan syirik, termasuk ke kubur Nabi.

Managemen kuburan terkait dengan keyakinan ulama dan masyarakat Saudi memperlakukan orang yang sudah meninggal dunia. Menurut ajaran mereka hubungan orang mati dengan yang hidup putus, kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakannya. Orang mati tidak lagi bisa beramal seperti memberi syafaat/pertolongan kepada yang hidup, misalnya, membantu kelancaran bisnis, kenaikan pangkat dsb. Dengan demikian tidak perlu lagi membangun dan merawat kuburan dengan biaya besar dengan berbagai macam fasilitasnya, sehingga kuburan terlihat sederhana.

Itulah sekilas masjid dan kuburan di Saudi, dengan harapan sebagai bahan renungan kita bersama. Shahabat kita, KH. Drs. H. Mustofa Alie, pernah berkelakar tentang perbedaan Saudi dengan Indonesia, ” Kalau di Saudi masjid selalu ramai dan kuburan sepi, tapi di Indonesia kuburan lebih hidup daripada masjid”. Wallahu a’lam bi showab.

Posting Komentar untuk "ANTARA MASJID DAN KUBURAN DI SAUDI DAN INDONESIA"